Latar Belakang

Organisasi memiliki sifat untuk selalu melakukan penyesuaian agar dapat bertahan dan mencapai tujuannya. Hal ini berarti suatu organisasi harus mampu mengajak anggotanya untuk selalu bersikap dengan cara-cara yang bermanfaat bagi organisasi misalnya bersikap adaptif terhadap masalah di sekitar organisasi. Dalam sebuah organisasi cara yang bermanfaat ini dilaksanakan dengan pengendalian kekuasaan. Dengan kata lain, usaha yang dilakukan dikendalikan oleh sebuah kekuasaan yang dimiliki oleh pemimpin organisasi.

Garis kekuasaan kadang-kadang sangat tidak kentara dalam organisasi, sehingga bawahan tidak sadar bahwa mereka sesungguhnya sedang digunakan untuk mengejar keinginan dan maksud orang lain. Apa yang menarik orang mencari kekuasaan? Kadang-kadang hal ini disebabkan orang  ingin memanipulasi atau mengendalikan orang lain dalam organisasi. Atau, ada juga orang yang haus akan ketaatan dan kepatuhan dari orang lain untuk menuruti segala perintahnya. Atau memiliki hasrat besar untuk selalu dicap berjasa. Bagi sebagian orang, situasi kerja merupakan satu-satunya tempat dimana mereka dapat memperoleh dan menggunakan kekuasaan

Setiap datangnya Velentine maka pasangan yang sedang kasmaran pasti tidak akan menyia-nyiakannya. Hari valentine adalah saatnya kekasih saling memberi hadiah sebagai tanda cintanya. Hal ini tidak disia-siakan oleh dunia bisnis dan industri. Meski beberapa tokoh Majelis Ulama Indonesia (MUI) diberbagai daerah di Indonesia mengharamkannya, tetapi MUI pusat belum memberikan secara resmi fatwa pengharaman hari Valentine.Menurut beberapa tokoh MUI di pusat dan daerah menyatakan hari Valentine bagi umat muslim diharamkan. Menurut ketua MUI Amidhan termasuk yang mengharamkan perayaan Valentine bagi pemeluk agama Islam. “Kalau dilaksanakan oleh orang Islam dalam pengertian Valentine itu ritual dari agama tertentu, itu haram hukumnya,” demikian menurut Ketua MUI tersebut.
Berbagai masalah yang melatarbelakangi mengapa hari Valentine diharamkan. bukan semata-mata budaya, melainkan terkait dengan masalah aqidah, di mana umat Islam diharamkan merayakan ritual agama dan hari besar agama lain. Semangat dan budaya saling menghormati dan silaturahmi dari perayaan yang jatuh setiap tanggal 14 Februari itu sebenarnya bagus untuk dicontoh. Namun demikian, jika ingin sekadar berkumpul berbagi kasih dan saling menghadiahi kepada anggota keluarga atau orang terdekat, umat Islam tidak harus terbebani menunggu pada hari Valentine.
MUI menganjurkan kepada para pemeluk agama Islam, terutama generasi muda, untuk selalu mawas diri. Jangan sampai mereka terjerumus melakukan yang dilarang agama, seperti minum alkohol dan hal-hal yang lebih buruk dari itu.
Tata cara dengan pesta yang biasa dirayakan dalam acara Valentine tak dikenal dalam Islam dan cenderung  haram. Sebagaimana diketahui, acara Valentina, biasa diperingati dengan cara mabuk-mabukkan, pesta-pesta dan bahkan pertemuan lawan jenis yang bukan suami-istri dengan perilaku yang melampaui batas. Tetapi menurut ulama lainnya mengatakan yang haram bukan hari Valentine-nya, tapi perayaan yang dilakukan oleh masyarakat untuk memperingati hari cinta tersebut. Namun cara memperingatinya yang haram karena sudah banyak yang menyimpang.
Hari Raya Katolik Roma
Hari Valentine dianggap sebagai hari raya Katolik Roma didiskusikan di artikel Santo Valentinus. . Hari raya ini tidak mungkin diasosiasikan dengan cinta yang romantis sebelum akhir Abad Pertengahan ketika konsep-konsep macam ini diciptakan.
Hari raya ini sekarang terutama diasosiasikan dengan para pencinta yang saling bertukaran notisi-notisi dalam bentuk “valentines”. Simbol modern Valentine antara lain termasuk sebuah kartu berbentuk hati dan gambar sebuah Cupido (cupid) bersayap. Mulai abad ke-19, tradisi penulisan notisi pernyataan cinta mengawali produksi kartu ucapan secara massal. The Greeting Card Association (Asosiasi Kartu Ucapan AS) memperkirakan bahwa di seluruh dunia sekitar satu milyar kartu valentine dikirimkan per tahun. Hal ini membuat hari raya ini merupakan hari raya terbesar kedua setelah Natal di mana kartu-kartu ucapan dikirimkan. Asosiasi yang sama ini juga memperkirakan bahwa para wanitalah yang membeli kurang lebih 85% dari semua kartu valentine.
Di Amerika Serikat mulai pada paruh kedua abad ke-20, tradisi bertukaran kartu diperluas dan termasuk pula pemberian segala macam hadiah, biasanya oleh pria kepada wanita. Hadiah-hadiahnya biasa berupa bunga mawar dan cokelat. Mulai tahun 1980-an, industri berlian mulai mempromosikan hari Valentine sebagai sebuah kesempatan untuk memberikan perhiasan.
Sejarah Hari Valentine
Asosiasi pertengahan bulan Februari dengan cinta dan kesuburan sudah ada sejak dahulukala. Menurut kalender Athena kuno, periode antara pertengahan Januari dengan pertengahan Februari adalah bulan Gamelion, yang dipersembahkan kepada pernikahan suci Dewa Zeus dan Hera.
Di Roma kuno, 15 Februari adalah hari raya Lupercalia, sebuah perayaan Lupercus, dewa kesuburan, yang dilambangkan setengah telanjang dan berpakaian kulit kambing. Sebagai bagian dari ritual penyucian, para pendeta Lupercus meyembahkan korban kambing kepada sang dewa dan kemudian setelah minum anggur, mereka akan lari-lari di jejalanan kota Roma sembari membawa potongan-potongan kulit domba dan menyentuh siapa pun yang mereka jumpai. Terutama wanita-wanita muda akan maju secara sukarela karena percaya bahwa dengan itu mereka akan dikarunia kesuburan dan bisa melahirkan dengan mudah.
Hari raya Valentine diyakini sebagai hari raya Gereja. Menurut Ensiklopedi Katolik 1908, nama Valentinus paling tidak bisa merujuk tiga martir atau santo (orang suci) yang berbeda seperti seorang pastur di Roma, seorang uskup Interamna (modern Terni) dan seorang martir di provinsi Romawi Africa.
Hari Valentine juga ditetapkan sebagai hari raya peringatan santo Valentinus. Ada yang mengatakan bahwa Paus Gelasius I sengaja menetapkan hal ini untuk mengungguli hari raya Lupercalia yang dirayakan pada tanggal 15 Februari.
Sisa-sisa kerangka yang digali dari makam Santo Hyppolytus dia Via Tibertinus dekat Roma, diidentifikasikan sebagai jenazah St. Valentinus. Kemudian ditaruh dalam sebuah peti emas dan dikirim ke gereja Whitefriar Street Carmelite Church di Dublin, Irlandia. Jenazah ini telah diberikan kepada mereka oleh Paus Gregorius XVI pada 1836. Banyak wisatawan sekarang yang berziarah ke gereja ini pada hari Valentine, di mana peti emas diarak-arak dalam sebuah prosesi khusyuk dan dibawa ke sebuah altar tinggi. Pada hari itu sebuah misa khusus diadakan dan dipersembahkan kepada para muda-mudi dan mereka yang sedang menjalin hubungan cinta.
Hari raya ini dihapus dari kalender gerejawi pada tahun 1969 sebagai bagian dari sebuah usaha yang lebih luas untuk menghapus santo-santa yang asal-muasalnya bisa dipertanyakan dan hanya berbasis legenda saja. Namun pesta ini masih dirayakan pada paroki-paroki tertentu.
Berbagai kisah yang dihubungkan hari raya Santo Valentinus dengan cinta romantis adalah pada abad ke-14 di Inggris dan Perancis, di mana dipercayai bahwa 14 Februari adalah hari ketika burung mencari pasangan untuk kawin. Kepercayaan ini ditulis pada karya sang sastrawan Inggris pertengahan ternama Geoffrey Chaucer pada abad ke-14. Ia menulis di cerita Parlement of Foules (Percakapan Burung-Burung) bahwa
Pada zaman itu bagi para pencinta sudah lazim untuk bertukaran catatan pada hari ini dan memanggil pasangan mereka “Valentine” mereka. Sebuah kartu Valentine yang berasal dari abad ke-14 konon merupakan bagian dari koleksi pernaskahan British Library di London.
Di Indonesia, budaya bertukaran surat ucapan antar kekasih juga mulai muncul. Budaya ini menjadi budaya populer di kalangan anak muda. Bentuk perayaannya bermacam-macam, mulai dari saling berbagi kasih dengan pasangan, orang tua, orang-orang yang kurang beruntung secara materi, dan mengunjungi panti asuhan di mana mereka sangat membutuhkan kasih sayang dari sesama manusia. Pertokoan dan media (stasiun TV, radio, dan majalah remaja) terutama di kota-kota besar di Indonesia marak mengadakan acara-acara yang berkaitan dengan valentine. Hal ini tidak disia-siakan oleh bisnis dan industri produk yang berkaitan dengan remaja.
Tampaknya kontroversi pengharaman hari Valentine diambil dari segi positifnya. Bahwa sesuatu perayaan apapun yang dalam merayakannya melanggar ajaran agama dan berperilaku negatif maka pasti jelas akan diharamkan. Tetapi bila dalam merayakannya tidak melanggar etika budaya Indonesia dan ajaran agama maka pelaksanaan peringatan yang bukan budaya Islam itu pengharamannya menjadi kontroversial

Refferensi:http://mediaanakindonesia.wordpress.com/2011/02/14/kontroversi-harmnya-hari-valentine/

Budaya Kerja adalah suatu falsafah dengan didasari pandangan hidup sebagai nilai-nilai yang menjadi sifat, kebiasaan dan juga pendorong yang dibudayakan dalam suatu kelompok dan tercermin dalam sikap menjadi perilaku, cita-cita, pendapat, pandangan serta tindakan yang terwujud sebagai kerja. (Sumber : Drs. Gering Supriyadi,MM dan Drs. Tri Guno, LLM )
C. Tujuan Atau Manfaat Budaya Kerja
Budaya kerja memiliki tujuan untuk mengubah sikap dan juga perilaku SDM yang ada agar dapat meningkatkan produktivitas kerja untuk menghadapi berbagai tantangan di masa yang akan datang.
Manfaat dari penerapan Budaya Kerja yang baik :
1. meningkatkan jiwa gotong royong
2. meningkatkan kebersamaan
3. saling terbuka satu sama lain
4. meningkatkan jiwa kekeluargaan
5. meningkatkan rasa kekeluargaan
6. membangun komunikasi yang lebih baik
7. meningkatkan produktivitas kerja
8. tanggap dengan perkembangan dunia luar, dll

Refferensi:http://organisasi.org/arti-definisi-pengertian-budaya-kerja-dan-tujuan-manfaat-penerapannya-pada-lingkungan-sekitar

Indonesia adalah negara yang mayoritas penduduknya beragama islam.Maka dari itu alangjah baiknya kita mengetahu bagaimana islam berkembang diIndonesia.. Orang-orang Indonesia memiliki kemampuan tinggi dalam melakukan akulturisasi budaya. Ini dibuktikan dengan keberhasilan masyarakat Indonesia dalam mengakulturisasi budaya Hindu-Buddha dan yang kemudian, Islam. Penting diketahui, aspek-aspek budaya Hindu-Buddha yang diterapkan di Indonesia tidaklah “serupa benar” dengan apa yang berlaku di India. Budaya Hindu-Buddha yang asli telah mengalami sinkretisisasi dengan budaya lokal yang berkembang di Indonesia.

Sinkretisisasi ini terjadi, sebagai missal, dalam penokohan wayang. Dalam wayang Indonesia, terdapat tokoh-tokoh India “asli” seperti Yudhistira, Arjuna, Bima, ataupun tokoh-tokoh Kurawa semacam Duryudana, Dursasana, Sangkuni, ataupun Drona. Namun, setelah diterapkan di Indonesia, muncul tokoh-tokoh semisal Semar, Gareng, Petruk, ataupun Bagong yang kesemuanya dikenal sebagai Punakawan. Tokoh-tokoh Punakawan ini diperankan punya dimensi spiritual dan kemampuan yang melebihi skill para tokoh wayang India.

Sinkretisisasi budaya ini pun terjadi tatkala persebaran budaya Islam di sekujur pulau nusantara. Islam yang kemudian menggejala di nusantara memiliki sejumlah corak baru tatkala diimplementasikan di bumi Indonesia. Tulisan ini akan melakukan perjalanan singkat dalam melihat pengaruh-pengaruh Islam terhadap budaya lokal yang berkembang di Indonesia.

Masuknya Islam ke Indonesia

Islam berkembang lewat perantaraan bahasa Arab. Kontak antara Islam dengan kepulauan nusantara sebagian besar berlangsung di wilayah pesisir pantai. Utamanya lewat proses perdagangan antara penduduk lokal dengan para pedagang bangsa Persia, Arab, dan India Gujarat. Kontak-kontak ini, pada perkembangannya, memunculkan proses akulturisasi budaya. Islam kemudian muncul sebagai “competing” culture Hindu-Buddha.

M.C. Ricklefs dari Australian National University menyebutkan 2 proses masuknya Islam ke nusantara. Pertama, penduduk pribumi mengalami kontak dengan agama Islam dan kemudian menganutnya. Kedua, orang-orang asing (Arab, India, Cina) yang telah memeluk agama Islam tinggal secara tetap di suatu wilayah Indonesia, kawin dengan penduduk asli, dan mengikuti gaya hidup lokal sedemikian rupa sehingga mereka sudah menjadi orang Jawa, Melayu, atau suku lainnya.1

Teori lain seputar masuknya Islam dari Timur Tengah ke nusantara diajukan Supartono Widyosiswoyo.2 Menurutnya, penetrasi tersebut dapat dibagi ke dalam 3 gelombang yaitu : Jalur Utara, Jalur Tengah, dan Jalur Selatan. Ketiga gelombang ini didasarkan pada pangkal wilayah persebaran Islam yang memasuki Indonesia.

Jalur Utara adalah proses masuknya Islam dari Persia dan Mesopotamia. Dari sana, Islam beranjak ke timur lewat jalur darat Afganistan, Pakistan, Gujarat, lalu menempuh jalur laut menuju Indonesia. Lewat Jalur Utara ini, Islam tampil dalam bentuk barunya yaitu aliran Tasawuf. Dalam aliran ini, Islam dikombinasikan dengan penguatan pengalaman personal dalam pendekatan diri terhadap Tuhan. Aliran inilah yang secara cepat masuk dan melakukan penetrasi penganut baru Islam di nusantara. Aceh merupakah salah satu basis persebaran Islam Jalur Utara ini.

Jalur Tengah adalah proses masuknya Islam dari bagian barat lembah Sungai Yordan dan bagian timur semenanjung Arabia (Hadramaut). Dari sini Islam menyebar dalam bentuknya yang relatif asli, di antaranya adalah aliran Wahabi. Pengaruh terutama cukup mengena di wilayah Sumatera Barat. Ini dapat terjadi oleh sebab dari Hadramaut perjalanan laut dapat langsung sampai ke pantai barat pulau Sumatera.

Jalur Selatan pangkalnya adalah di wilayah Mesir. Saat itu Kairo merupakan pusat penyiaran agama Islam yang modern dan Indonesia memperoleh pengaruh tertama dalam organisasi keagamaan yang disebut Muhammadiyah. Kegiatan lewat jalur ini terutama pendidikan, dakwah, dan penentangan bid’ah.

Petunjuk tegas pertama seputar munculnya Islam di nusantara adalah ditemukannya nisan Sultan Sulaiman bin Abdullah bin al-Basir yang wafat tahun 608H atau 1211 M, di pemakaman Lamreh, Sumatera bagian Utara. Nisan ini sekaligus menunjukkan adanya kerajaan Islam pertama di nusantara. Mazhab yang berkembang di wilayah Sumatera bagian Utara awal perkembangan Islam ini, menurut Ibnu Battuta (musafir Maroko) adalah Syafi’i.3

Semakin signifikannya pengaruh Islam di nusantara adalah dengan berdirinya sejumlah kerajaan. Jean Gelman-Taylor mencatat di Ternate (Maluku) penguasanya melakukan konversi ke Islam tahun 1460.4 Di Demak, penguasanya mendirikan kota muslim tahun 1470, sementara kota-kota pelabuhan di sekitarnya seperti Tuban, Gresik, dan Cirebon menyusul pada tahun 1500-an. Sekitar tahun 1515 pelabuhan Aceh memiliki penguasa Islam, disusul Madura pada 1528, Gorontalo 1525, Butung 1542. Tahun 1605 penguasa Luwuk, Tallo, dan Gowa (Sulawesi Selatan) masuk Islam dan 1611 semenanjung Sulawesi Selatan telah dikuasai penguasa Islam.

Pada perkembangannya, terjadi proses saling pengaruh antara Islam yang sudah berakulturisasi dengan budaya lokal dengan Islam yang masuk dari wilayah Timur Tengah. Ini terutama semakin mengemuka di saat berkuasanya rezim Ibnu Saud yang menggunakan Wahhabi sebagai paham keislamannya. Tulisan ini tidak akan menyentuh bagaimana konflik yang berlangsung antara kedua tipologi Islam tersebut. Tulisan hanya menghampiri sejumlah pengaruh yang dibawa Islam ke dalam budaya-budaya yang berkembang di Indonesia.

Metode Penetrasi

Metode penetrasi Islam ke nusantara cukup bervariasi. Supartono Widyosiswoyo menyebut sekurangnya ada 6 metode yaitu: perdagangan, perkawinan, tasawuf, pendidikan, seni dan pelapisan sosial.5 Perdagangan merupakan metode penetrasi Islam yang paling kentara. Dalam proses ini, pedagang nusantara dan asing saling bertemu dan bertukar pengaruh. Pedagang asing terdiri atas pedagang Gujarat dan Timur Tengah. Mereka ini bertemu dengan para adipati wilayah pesisir yang hendak melepaskan diri dari kekuasaan Majapahit. Sebagian dari para pedagang asing ini menetap di wilayah yang berdekatan dengan pantai dan menularkan kebudayaan Islam mereka.

Perkawinan banyak dilakukan antara pedagang selaku perantau dengan putri-putri adipati. Dalam pernikahan, mempelai pria biasanya mengajukan syarat pengucapan kalimat syahadat sebagai sahnya pernikahan. Anak-anak yang dihasilkan dari pernikahan tersebut mengikuti agama orang tuanya.

Tasawuf merupakan metode beragama yang banyak menarik kalangan pribumi Indonesia. Metodenya yang toleran dan tidak mengakibatkan cultural shock cukup membuat “banjir” penganut Islam baru. Tasawuf ini tidak menciptakan posisi diametral dengan budaya Hindu-Buddha ataupun tradisi lokal yang sebelumnya digenggam orang pribumi. Tokoh-tokoh tasawuf seperti Hamzah Fansuri, Syamsudin Pasai, ataupun Wali Songo (termasuk juga Syekh Siti Jenar) mengambil posisi kunci dalam metode penyebaran Islam lewat tasawuf ini.

Pendidikan merupakan salah satu metode penyebaran Islam. Sebelum Islam masuk, Indonesia dikenal sebagai basis pendidikan agama Buddha, khususnya perguruan Nalendra di Sumatera Selatan. Pecantrikan dan Mandala adalah “sekolah” tempat para penuntut ilmu di kalangan penduduk pra Islam. Setelah Islam masuk, peran Pecantrikan dan Mandala tersebut diambil alih dan diberi muatan Islam ke dalamnya.

Seni, tidak bisa dipungkiri, punya peran signifikan dalam penyebaran Islam. Orang Indonesia merupakan seniman-seniman yang punya kemashuran tingkat tinggi. Lewat seni inilah, Islam relatif lebih mudah diterima ketimbang metode-metode lain. Sunan Kalijaga misalnya, menggunakan wayang sebagai cara dakwah. Sunan Bonang menggunakan gamelan untuk melantunkan syair-syair keagamaan. Ini belum termasuk tokoh-tokoh lain yang mengadaptasi seni kerajinan lokal dan Hindu-Buddha untuk kemudian diberi muatan Islam.

Pelapisan sosial akhirnya menempati posisi kunci. Problem utama di agama sebelumnya adalah stratifikasi sosial berdasarkan kasta. Meski tidak terlampau ketat, Hindu di Indonesia sedikit banyak dipengaruhi kasta sosial seperti Brahmana, Ksatria, Waisya, Sudra dan Paria. Utamanya, masyarakat biasa kurang “leluasa” dengan sistem ini oleh sebab mengakibatkan sejumlah keterbatasan. Lalu, Islam datang dan tidak mengenal stratifikasi sosial. Tentu saja, orang-orang Indonesia yang hendak “bebas” merespon dengan baik agama ini.

Bahasa

Awalnya, konversi Islam terjadi di semenanjung Malaya dan sekitarnya. Menyusul konversi tersebut, penduduknya meneruskan penggunaan bahasa Melayu. Melayu ini digunakan sebagai bahasa dagang dan banyak digunakan di bagian barat kepulauan Indonesia. Sesuai dengan perkembangan awal Islam, bahasa Melayu pun telah memasukkan sejumlah kosakata Arab ke dalam struktur bahasanya. Bahkan, Taylor mencatat sekitar 15% dari kosakata bahasa Melayu merupakan adaptasi dari bahasa Arab.6 Selain itu, terjadi modifikasi atas huruf-huruf Pallawa ke dalam huruf Arab, dan ini kemudian dikenal sebagai huruf Jawi.

Seiring naiknya Islam sebagai agama dominan di kepulauan nusantara, terjadi pula adaptasi bahasa yang digunakan Islam. Ini diantaranya merasuk ke struktur penanggalan Saka yang menjadi mainstream di kebudayaan Hindu-Buddha. Misalnya, nama-nama bulan Islam kemudian disinkretisasi oleh Sultan Agung (Mataram Islam) ke dalam sistem penanggalan Saka. Penanggalan Saka berbasiskan penanggalan Matahari (mirip Gregorian), sementara penanggalan Islam berbasis peredaran Bulan.

Sultan Agung pada 1625 mendekritkan perubahan penanggalan Saka menjadi penanggalan Jawa yang banyak dipengaruhi budaya Islam. Nama-nama bulan yang digunakan adalah 12, sama dengan penanggalan Hijriyah (versi Islam). Demikian pula, nama-nama bulan mengacu pada bahasa bulan Arab yaitu Sura (Muharram), Sapar (Safar), Mulud (Rabi’ul Awal), Bakda Mulud (Rabi’ul Akhir), Jumadilawal (Jumadil Awal), Jumadilakir (Jumadil Akhir), Rejeb (Rajab), Ruwah (Sya’ban), Pasa (Ramadhan), Sawal (Syawal), Sela (Dzulqaidah), dan Besar (Dzulhijjah). Namun, penanggalan hariannya tetap mengikuti penanggalan Saka oleh sebab penanggalan harian Saka saat itu paling banyak digunakan penduduk.

Selain masalah pembagian bulan, bahasa Arab pun merambah ke struktur kosakata. Sama dengan sejumlah bahasa Sanskerta yang akhirnya diakui selaku bagian dari bahasa Indonesia, sejumlah kata Arab pun akhirnya masuk ke dalam struktur bahasa Indonesia, yang di antaranya adalah :


Bahasa Arab ini bahkan semakin signifikan di abad ke-18 dan 19 di Indonesia, di mana masyarakat nusantara lebih dapat membaca huruf Arab ketimbang Latin. Bahkan, di masa kolonial Belanda ini, mata uang ditulis dalam huruf Arab Melayu, Arab Pegon, ataupun Arab Jawi. Tulisan Arab pun kerap masih diketemukan di dalam tulisan batu nisan.

Pesantren. Salah satu wujud pengaruh Islam yang secara budaya lebih sistemik adalah pesantren. Asal katanya kemungkinan “shastri” yang berarti “orang-orang yang tahu kitab suci agama Hindu” dari bahasa Sanskerta. Atau, “cantrik” dari bahasa Jawa yang berarti “orang yang mengikuti kemana pun gurunya pergi. Fenomena pesantren sesungguhnya telah berkembang sebelum Islam masuk. Pesantren saat itu menjadi tempat pendidikan dan pengajaran agama Hindu. Setelah Islam masuk, materi dan proses pendidikan di pesantren diambilalih oleh Islam.

Pesantren pada dasarnya sebuah asrama pendidikan Islam tradisional. Siswa tinggal bersama dan belajar ilmu-ilmu keagamaan di bawah bimbingan guru yang dikenal dengan sebutan Kyai. Asrama siswa berada di dalam kompleks pesantren di mana kyai berdomisili. Dengan kata lain, pesantren dapat diidentifikasi dengan adanya 5 elemen pokok yaitu : pondok, masjid, santri, kyai, dan kitab-kitab klasik.7

Seputar peran signifikan pesantren ini, Harry J. Benda menyebut bahwa sejarah Islam ala Indonesia adalah sejarah memperbesarkan peradaban santri dan pengaruhnya terhadap kehidupan keagamaan, sosial, dan ekonomi di Indonesia.8 Melalui pesantren ini, budaya Islam dikembangkan dan beradaptasi terhadap budaya lokal yang berkembang di sekitarnya.

Masjid. Masjid adalah tempat beribadah bagi kalangan Islam. Masjid-masjid awal yang terbentuk pasca penetrasi Islam ke nusantara cukup berbeda dengan yang berkembang di Timur Tengah. Di antaranya adalah, tidak terdapatnya kubah di puncak bangunan. Kubah ini tergantikan dengan semacam “meru” yaitu susunan limas (biasanya tiga tingkat atau lima) serupa dengan bangunan-bangunan Hindu. Masjid Banten memiliki meru 5 lingkat, sementara masjid Kudus dan Demak 3 tingkat. Namun secara umum, bentuk bangunan dinding yang bujur sangkar adalah sama dengan yang berkembang di budaya induknya.9

Lalu, di Indonesia menara masjid biasanya tidak dibangun. Peran menara ini digantikan oleh bedug atau tabuh yang menandai masuknya waktu shalat. Setelah bedug atau tabuh dibunyikan, mulailah panggilan sembahyang dilakukan. Namun, ada pula menara yang dibangun semisal di masjid Kudus dan Demak. Uniknya, bentuk menara mirip dengan bangunan candi Hindu. Meskipun kini wujud masjid yang dibangun di Indonesia telah dilengkapi menara, tetapi bangunan-bangunan masjid jauh di masa sebelumnya masih mempertahankan bentuk lokalnya.

Makam. Makam adalah lokasi dikebumikannya jasad seseorang pasca meninggal dunia. Setelah pengaruh Islam, makam seorang berpengaruh tidak lagi diwujudkan ke dalam bentuk candi melainkan Cuma sekadar “cungkup.” Juga, di lokasi tubuh dikebumikan ditandai oleh nisan. Nisan ini merupakan bentuk penerapan Islam di Indonesia. Nisan Indonesia bukan sekadar batu, melainkan juga terdapat ukiran yang menandai nama siapa yang dikebumikan.

Seni Ukir. Ajaran Islam (terutama di Saudi Arabia) melakukan pelarangan kreasi makhluk bernyawa ke dalam seni. Larangan ini pun dipegang teguh oleh orang-orang Islam Indonesia. Sebagai penggantinya, mereka aktif membuat kaligrafi dan ukiran yang “tersamar”. Misalnya bentuk dedaunan, bunga, bukit-bukit karang, pemandangan, serta garis-garis geometris. Termasuk ke dalamnya pembuatan kaligrafi huruf Arab. Ukiran seperti ini terdapat di Masjid Mantingan dekat Jepara, daerah Indonesia yang memang terkenal karena seni ukirnya.

Sastra. Seperti pengaruh Hindu-Buddha, Islam pun memberi pengaruh terhadap seni sastra nusantara. Sastra yang dipengaruhi Islam ini terutama berkembang di daerah sekitar Selat Malaka dan Jawa. Di sekitar Selat Malaka merupakan perkembangan baru, sementara di Jawa merupakan kembangan dari sastra Hindu-Buddha.

Para sastrawan Islam melakukan penggubahan-penggubahan baru terhadap Mahabarata, Ramayana, dan Pancatantra. Hasil gubahan ini misalnya Hikayat Pandawa Lima, Hikayat Perang Pandawa Jaya, Hikayat Seri Rama, Hikayat Maharaja Rawana, Hikayat Panjatanderan. Di Jawa, muncul sastra-sastra lama yang dipengaruhi Islam semisal Bratayuda, Serat Rama, Arjuna Sasrabahu.

Di Melayu berkembang Sya’ir, terutama yang digubah Hamzah Fansuri berupa suluk (kitab yang membentangkan persoalan tasawuf). Suluk yang digubah Fansuri ini diantaranya Sya’ir Perahu, Sya’ir Si Burung Pingai, Asrar al-Arifin, dan Syarab al Asyiqin.


Refferensi:http://setabasri01.blogspot.com/2009/05/penyebaran-budaya-islam-di-indonesia.html

Indonesia adalah negara yang kaya akan adat dan budaya.Nah sering kali kita dengar adanya pelaksanaan upacara adat disuatu daerah untuk memperingati hari-hari atau event-event tertentu.Tidak sedikit dalam upacara tersebut sarat syah dan abdol suatu upacara adat adalah adanya sesajen atau sesaji yang harus selalu disiapakn.Maka dari itu saya akan membahas sedikit tentang hukum dan kontrovesi didalamnya:

sesaji atau sesajen merupakan suatu perangkat yang biasanya ada di dalam berbagai kegiatan ritual. Perangkat itu haruslah lengkap, dan setiap perangkat mewakili suatu makna tertentu. Kelengkapan dari sesajen menjadi prasyarat dari keputasan pihak yang disesajeni, dan di sisi lain merupakan wujud kepercayaan dari pihak yang memberi sesaji.
sesaji bunga dengan cipratan darah binatang
ilustrasi : sesaji bunga dengan cipratan darah binatang
Bagi beberapa kelompok masyarakat, sesajen merupakan simbol dari pengakuan akan adanya kuasa yang harus dia puaskan supaya memberi keamanan dan ketenangan di dalam hidup mereka, dan yang akan mejawab semua permohonan mereka. Seberapa lengkap dan sempurna sesajen yang telah diuasahkan dan dipersembahkan merupakansumber ketenangan dan keamanannya.
Meskipun kita cenderung mendefinisikan kebudayaan kita saat ini sebagai kebudayaan yang rasional, tetapi sebenarnya manusia dan kebudayaannya telah menjadi setumpuk perangkat sesajen yang sedang diabdikan kepada sesuatu yang tidak semesinya. Bahkan secara subtil dan laten mungkin kehidupan rohani kita pun sedang dikamiri oleh budaya seperti ini.
***
Ada beberapa hal yang membuat suatu sesajen dapat diterima, yaitu : 1) Sesajen harus lengkap. Tanpa ada kelengkapan maka tidak mungkin hal yang dimohonkan tersebut dapat dijawab. 2) Sesajen harus yang terbaik. Jikalau ada cacat dan cela di dalam sesajen tersebut maka tidak munkin hal yang dimohonkan tersebut dapat diterima. 3) Semakin indah sesajen maka semakin diterima. 4) Semakin besar dan malah akan semakin baik. 5) Semakin aneh sesajen maka semakin kritikal untuk harus dituruti, misalnya mencari ayam jantan hitam mulus tanpa cacat dengan jenis tertentu. 6) Sesajen harus disajikan secara urut dan tepat baik secara waktu dan posisinya.
Orang berlomba membuat sesajen.
Dalam budaya sesajen yang demikian, keberhasilan dientukan oleh kesempurnaan orang dalam menyiapkan sesajen tersebut. Ketika keberhasilan didapatkan makan akan terjadi penguatan di dalam keyakinannya akan pentingnya sesajen tersebut di dalam usahanya.
Ketika keberhasilan sesajen itu teruji, maka hal itu akan menjadi sebuah model sesajen yang berhasil. Semua orang akan menirunya, tepat 100% akan diikuti. Bahkan sesajen itu akan ditambah-tambahi sehingga semaki nlengkap, semakin sempurna, semakin indah, semakin besar dan tentunya juga semakin aneh dengan harapan bahwa akan didapatkan keberhasilan yang semakin besar.
Apa yang tampak di dalam kebudayaan sesajen yang kasat mata tersebut sebenarnya lahir dari suatu sistem nilai tertentu, yaitu bahwa “kita akan diberkati jikalau sesajen kita sempurna”.
Dan secara kasat mata, sesajen itu memuaskan keinginan daging, keinginan mata dan keangkuhan hidup kita. Bukanlah suatu kehormatan jikalau bisa membuat suatu sesajen yang menjadi master piece dibandingkan yang lainnya. Sepertinya naluri kepongahan secara otomatis muncul dibalik pencapaian tersebut. Dua tanduk secara otomatis muncul dibalik pencapaian tersebut, “Ini lo buah keberhasilan yang aku buat.” Kesombongan diri muncul dari diri kita. Keindahan sesajen itu menyembunyikan kebobrokan hatinya.
Sebaliknya setiap kegagalan akan mendapatkan kambing hitamnya. Dan kambing hitu tersebut adalah kekurangsempurnaan sesajen yang dipersembahkan. Mungkin karena kurang lengkap, kurang sempurna, kurang indah, kurang besar, kurang pas atau bahkan kurang aneh. Kambing hitam itu adalah hal-hal yang membuat kekuranglengkapan sesajen tersebut, bisa jadi karena dirinya sendiri atau orang lain.
Jikalau diri sendiri yang menjadi kambing hitam, maka dia akan semakin terbebani oleh kegagalan tersebut, dan hal itu akan semakin menghukum dirinya, karena dipaksa untuk membuktikan sesuatu yang diluar kendali dirinya. Suatu beban yang sebenarnya tidak dapat dia tanggung. Tetapi jikalau orang lain yang menjadi kambing hitam, maka akan muncul banyak alasan untuk menghakimi dan bahkan percideraan serta menyalahkan orang lain sebagai biang kegagalannya. Benih-benih perseteruan mulai ditabur.
Tidak kemerdekaan tetapi justru belenggu.
***
Kita tumbuh di dalam lingkungan yang sangat dekat dengan hal-hal tersebut. Di waktu, kejadian, acara atau ikhtia tertentu, sesjen merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan. Ada suatu idea tersembunyi yang melatar belakangi kegiatan itu, bahwa “yang berkuasa” dapat dipuaskan dan akan memberi keberhasilan kepada segala usaha kita melalui sesajen tersebut.
Dosa yang paling nyata adalah bahwa kita sering merasa bahwa Allah dapat dipuaskan (baca : disuap) dengan segala sesajen yang kita berikan kepada Nya. Kita ingin membuat ini dan itu, atau ingin melakukan pekerjaan besar ini dan itu yang sepertinya untuk Tuhan tetapi sebenarnya sedang mengingkari kemuliaan Nya.
Dan sesajen itu bisa jadi adalah ritual ibadah kita; doa sembahyang kita, puasa kita, ikhtiar kita, budaya relijius kita, apa yang kita sangka sebagai wujud keimanan kita, atau nilai-nilai yang kita hidupi; yang sepertinya berakar bukan dari kerendahan dan kehancuran hati untuk datang kepada Allah tetapi justru lebih didasarkan ritual sesajen yang kita hidupi, sehingga hal itu menjadi berhala yang tersembunyi di dalam hidup kita. Damai sejahtera kita bukan karena Allah, tetapi karena kinerja sesajen kita. Legalisme dengan mudah menjerat hidup kita.
Di dalam Kristus ada paradigm baru yang ditawarkan, persembahan sejati kita adalah bukanlah sesuatu diluar diri kita, tetapi adalah berasal dari hidup kita yang kita persembahkan sebagai persembahan yang hidup, kudus dan berkenan kepada Nya. Itu adalah ibadah kita yang sejati. Dan hidup di dalam Kristus adalah hidup dari Dia oleh Dia dan bagi Dia. Karena Allah yang bekerja di dalam hidup kita, bukan sebaliknya, kita bekerja bagi Allah.
Justru kita dimampukan menghadap hadirat Nya yang penuh anugrah ketika tidak ada sesajen lain yang dapat kita persembahkan kepada Allah, kecuali diri kita. Segala kemuliaan hanya bagi Allah, yang anugrah Nya cukup atas segala ketidaklayakan kita.

Refferensi:http://agama.kompasiana.com/2010/08/29/sesajen/

Kita tentu mengethui bahwa ada ribuan budaya-budaya yang dimiliki Indonesia.Dimana dalam setiap budaya tersebut pasti terdapat makna dan fungsi masing-masing,berikut adalah contoh salah satu budaya Indonesia besrta fungsi dan filosofinya:

Tari Saman adalah sebuah tarian adat yang biasa ditampilkan untuk merayakan peristiwa-peristiwa penting dalam adat dan masyarakat Aceh. Syair dalam tarian Saman mempergunakan bahasa Arab dan bahasa Gayo. erakanSelain itu biasanya tarian ini juga ditampilkan untuk merayakan kelahiran Nabi Muhammad SAW. Nama tarian "Saman" diperoleh dari salah satu ulama besar NAD, Syech Saman.

Makna dan Fungsi
Tari saman merupakan salah satu media untuk pencapaian pesan (Dakwah). Tarian ini mencerminkan Pendidikan, Keagamaan, sopan santun, kepahlawanan, kekompakan dan kebersamaan.

Sebelum saman dimulai yaitu sebagai mukaddimah atau pembukaan, tampil seorang tua cerdik pandai atau pemuka adat untuk mewakili masyarakat setempat (keketar) atau nasehat-nasehat yang berguna kepada para pemain dan penonton.

Lagu dan syair pengungkapannya secara bersama dan kontinu, pemainnya terdiri dari pria-pria yang masih muda-muda dengan memakai pakaian adat. Penyajian tarian tersebut dapat juga dipentaskan, dipertandingkan antara group tamu dengan group sepangkalan ( dua group ). Penilaian ditititk beratkan pada kemampuan masing-masing group dalam mengikuti gerak, tari dan lagu (syair) yang disajikan oleh pihak lawan.


Nyanyian

Nyanyian para penari menambah kedinamisan dari tarian saman. Dimana cara menyanyikan lagu-lagu dalam tari saman dibagi dalam 5 macam :

1. Rengum, yaitu auman yang diawali oleh pengangkat.
2. Dering, yaitu regnum yang segera diikuti oleh semua penari.
3. Redet, yaitu lagu singkat dengan suara pendek yang dinyanyikan oleh seorang penari pada bagian tengah tari.
4. Syek, yaitu lagu yang dinyanyikan oleh seorang penari dengan suara panjang tinggi melengking, biasanya sebagai tanda perubahan gerak
5. Saur, yaitu lagu yang diulang bersama oleh seluruh penari setelah dinyanyikan oleh penari solo.

Gerakan

Tarian saman menggunakan dua unsur gerak yang menjadi unsur dasar dalam tarian saman: Tepuk tangan dan tepuk dada.Diduga,ketika menyebarkan agama islam,syeikh saman mempelajari tarian melayu kuno,kemudian menghadirkan kembali lewat gerak yang disertai dengan syair-syair dakwah islam demi memudakan dakwahnya.Dalam konteks kekinian,tarian ritual yang bersifat religius ini masih digunakan sebagai media untuk menyampaikan pesan-pesan dakwah melalui pertunjukan-pertunjukan.

Tarian saman termasuk salah satu tarian yang cukup unik,kerena hanya menampilkan gerak tepuk tangan gerakan-gerakan lainnya, seperti gerak guncang,kirep,lingang,surang-saring (semua gerak ini adalah bahasa Gayo)

http://bocil-chelsea.blogspot.com/2009/11/indahnya-budaya-indonesia.html

Indonesia merupakan negara archipelago atau kepulauan yang dimana tiap pulau terdapat berbagai macam daerah,suku,dan bahasa daerah masing-masing yang kemudian melahirkan kebudayaan nya sendiri-sendiri yang sudah ada sejak zaman nenek moyang. Dari Sabang sampai Merauke mereka memiliki ciri khas kebudayaannya masing-masing. Kebudayaan dapat dilihat dari berbagai macam sudut pandang tentunya seperti yang paling sering adalah kita bisa melihat kebudayaan dari daerah lain yaitu dari pakaian yang mereka kenakan, tari-tarian tradisional, lagu tradisional, musik-musik tradisional , bahkan mungkin makanan-makanan khas dari daerah-daerah tertentu. Dan itu semua merupakan modal yang tak ternilai harganya yang kita miliki di Indonesia, yang seharusnya kita bisa melestarikan dan mengembangkan kebudayaan yang kita miliki selama ini, dan membuktikan kepada warga dunia bahwa kita sangat kaya akan kebudayaan. Walaupun negara kita lumayan jauh dibandingkan dngan negara-negara berkembang lainnya tetapi satu yang kita miliki dan tak ada saupun yang dapat menandinginya yaitu kebudayaan kita yang teramat kaya.
hmm..mari kita bicara tentang kebudayaan dari sudut pandang kesenian tradisionalnya yang ada di Indonesia. Kita semua sudah tahu bahwa Indonesia merupakan negara yang kaya akan kebudayaan. Contohnya pulau Bali, merupakan salah satu pulau yang memliki berbagai kebudayaan didalamnya dan dikenal baik oleh dunia mancanegara. Bali memiliki acara rutin yang selalu diadakan setiap taunnya guna menarik perhatian wisatawan asing yang ingin mempelajari mengenai budaya indonesia. Contohnya Tarian kecak, pendet,dan acara-acara keagamaan lainnya seperti ngembak geni,tawur,pengrupukan dan melasti merupakan beberapa acara keagamaan yang sering diadakan tiap tahunnya.
Jika kita berbicara tentang kebudayaan yang ada di indonesia tentu tidak akan ada habisnya. Namun saya akan memberikan beberapa gambaran dari kebudayaan yang ada di Indonesia.
Tari Barong – Tari Bali
   keunikan-tari-barong1
Tarian ini merupakan peninggalan kebudayaan Pra Hindu yang menggun akan boneka berwujud binatang berkaki empat atau manusia purba yang memiliki kekuatan magis.
Topeng Barong dibuat dari kayu yang diambil dari tempat-tempat angker seperti kuburan, oleh sebab itu Barong merupakan benda sakral yang sangat disucikan oleh masyarakat Hindu di Bali. Pertunjukan tari ini dengan atau tanpa lakon, selalu diawali dengan pertunjukan pembuka, yang diiringi dengan gamelan. Ada beberapa jenis tari barong namun yang sering dipentaskan untuk konsumsi pariwisata yaitu jenis Baring Ket. Sakralisasi Barong & Rangda klik di sini
tari barongBarong Ket atau Barong Keket adalah tari Barong yang paling banyak terdapat di Bali dan paling sering dipentaskan serta memiliki pebendaharaan gerak tari yang lengkap. Dari wujudnya, Barong Ket ini merupakan perpaduan antara singa, macan, sapi atau boma. Badan Barong ini dihiasi dengan ukiran-ukiran dibuat dari kulit, ditempel kaca cermin yang berkilauan dan bulunya dibuat dari perasok (serat dari daun sejenis tanaman mirip pandan).
Tari ajat temuai datai dari kalimantan barat

provinsi ini mempunyai kebudayaan yang unik karena berbatasan langsung dengan negara tetangga disini akan kita lihat ada berbgai budaya yang ada di kalimantan barat ada budaya dayak yang eksotis dan magis, budaya yang unik dari pakain adat samapai tariannya juga kehidupan masyarakatnya yang menyatu dengan alam sungguh budaya yang tiada duanya, ada juga budaya melayu yang unik juga disini ada juga budaya tionghoa tepatnya di kota singkawang yang sudah menjadi bagian dari kalimantan barat, inilah beberapa foto budaya kalimantan barat budaya bumi borneo sebutan untuk pulau kalimantan.

http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2010/02/seputar-tentang-kebudayaan-di-indonesia-tugas-ibd/

1. Upacara Tabuik Sumatera Barat.

tabuiksumbar
Berasal dari kata ‘tabut’, dari bahasa Arab yang berarti mengarak, upacara Tabuik merupakan sebuah tradisi masyarakat di pantai barat, Sumatera Barat, yang diselenggarakan secara turun menurun. Upacara ini digelar di hari Asura yang jatuh pada tanggal 10 Muharram, dalam kalender Islam.
Konon, Tabuik dibawa oleh penganut Syiah dari timur tengah ke Pariaman, sebagai peringatan perang Karbala. Upacara ini juga sebagai simbol dan bentuk ekspresi rasa duka yang mendalam dan rasa hormat umat Islam di Pariaman terhadap cucu Nabi Muhammad SAW itu. Karena kemeriahan dan keunikan dalam setiap pagelarannya, Pemda setempat pun kemudian memasukkan upacara Tabuik dalam agenda wisata Sumatera Barat dan digelar setiap tahun.
tambuiksumbar2
Dua minggu menjelang pelaksanaan upacara Tabuik, warga Pariaman sudah sibuk melakukan berbagai persiapan. Mereka membuat serta aneka penganan, kue-kue khas dan Tabuik. Dalam masa ini, ada pula warga yang menjalankan ritual khusus, yakni puasa.
Selain sebagai nama upacara, Tabuik juga disematkan untuk nama benda yang menjadi komponen penting dalam ritual ini. Tabuik berjumlah dua buah dan terbuat dari bambu serta kayu. Bentuknya berupa binatang berbadan kuda, berkepala manusia, yang tegap dan bersayap. Oleh umatIslam, binatang ini disebut Buraq dan dianggap sebagai binatang gaib. Di punggung Tabuik, dibuat sebuah tonggak setinggi sekitar 15 m. Tabuik kemudian dihiasi dengan warna merah dan warna lainnya dan akan di arak nantinya.
2. Makepung, Balap Kerbau Masyarakat Bali.
makepungbali
Kalau Madura punya Kerapan Sapi, maka Bali memiliki Makepung. Dua tradisi yang serupa tapi tak sama, namun menjadi tontonan unik yang segar sekaligus menghibur. yang dalam bahasa Indonesia berarti berkejar-kejaran, adalah tradisi berupa lomba pacu kerbau yang telah lama melekat pada masyarakat Bali, khususnya di Kabupaten Jembrana.
Tradisi ini awalnya hanyalah permainan para petani yang dilakukan di sela-sela kegiatan membajak sawah di musim panen. Kala itu, mereka saling beradu cepat dengan memacu kerbau yang dikaitkan pada sebuah gerobak dan dikendalikan oleh seorang joki.
makepungbali2
Makin lama, kegiatan yang semula iseng itu pun berkembang dan makin diminati banyak kalangan. Kini, Makepung telah menjadi salah satu atraksi budaya yang paling menarik dan banyak ditonton oleh wisatawan termasuk para turis asing. Tak hanya itu, lomba pacu kerbau inipun telah menjadi agenda tahunan wisata di Bali dan dikelola secara profesionalSekarang ini, Makepung tidak hanya diikuti oleh kalangan petani saja.
Para pegawai dan pengusaha dari kota pun banyak yang menjadi peserta maupun supporter. Apalagi, dalam sebuah pertarungan besar, Gubernur Cup misalnya, peserta Makepung yang hadir bisa mencapai sekitar 300 pasang kerbau atau bahkan lebih. Suasana pun menjadi sangat meriah dengan hadirnya para pemusik jegog(gamelan khas Bali yang terbuat dari bambu) untuk menyemarakkan suasana lomba.
3. Atraksi Debus Banten
debusbanten
Atraksi yang sangat berbahaya yang biasa kita kenal dengan sebutan Debus, Konon kesenian bela diri debus berasal dari daerah al Madad. Semakin lama seni bela diri ini makin berkembang dan tumbuh besar disemua kalangan masyarakat banten sebagai seni hiburan untuk masyarakat.
Inti pertunjukan masih sangat kental gerakan silat atau beladiri dan penggunaan senjata. Kesenian debus banten ini banyak menggunakan dan memfokuskan di kekebalan seseorang pemain terhadap serangan benda tajam, dan semacam senjata tajam ini disebut dengan debus.
debusbanten2
Kesenian ini tumbuh dan berkembang sejak ratusan tahun yang lalu, bersamaan dengan berkembangnya agama islam di Banten. Pada awalnya kesenian ini mempunyai fungsi sebagai penyebaran agama, namun pada masa penjajahan belanda dan pada saat pemerintahan Sultan Agung Tirtayasa. Seni beladiri ini digunakan untuk membangkitkan semangat pejuang dan rakyat banten melawan penjajahan yang dilakukan belanda. Karena pada saat itu kekuatan sangat tidak berimbang, belanda yang mempunyai senjata yang sangat lengkap dan canggih.
Terus mendesak pejuang dan rakyat banten, satu satunya senjata yang mereka punya tidak lain adalah warisan leluhur yaitu seni beladiri debus.
4. Karapan sapi Masyarakat Madura Jawa Timur
karapan
Karapan sapi yang merupakan perlombaan pacuan sapi yang berasal dari Madura Jawa Timur, Dalam even karapan sapi para penonton tidak hanya disuguhi adu cepat sapi dan ketangkasan para jokinya, tetapi sebelum memulai para pemilik biasanya melakukan ritual arak-arakan sapi disekelilingi pacuan disertai alat musik seronen perpaduan alat music khas Madura sehingga membuat acara ini menjadi semakin meriah.
karapan2
Panjang rute lintasan karapan sapi tersebut antara 180 sampai dengan 200 meter, yang dapat ditempuh dalam waktu 14 sd 18 detik. Tentu sangat cepat kecepatan sapi – sapi tersebut, selain kelihaian joki terkadang bamboo yang digunakan untuk menginjak sang joki melayang diudara karena cepatnya kecepatan sapi sapi tersebut.
Untuk memperoleh dan menambah kecepatan laju sapi tersebut sang joki, pangkal ekor sapi dipasangi sabuk yang terdapat penuh paku yang tajam dan sang joki melecutkan cambuknya yang juga diberi duri tajam kearah bokong sapi. Tentu saja luka ini akan membuat sapi berlari lebih kencang, tetapi juga menimbulkan luka disekitar pantat sapi.
Jarak pemenang terkadang selisih sangat tipis, bahkan tidak jarang hanya berjarak 1 sd 2 detik saja. Karapan Sapi dimadura merupakan pagelaran yang sangat unik, selain sudah diwarisi secara turun menurun tradisi ini juga terjaga sampai sekarang. Even ini dijadikan sebagai even pariwisata di Indonesia, dan tidak hanya turis local dari mancanegara pun banyak yang menyaksikan karapan sapi ini.
5. Upacara Kasada Bromo
kasdabromo
Upacara Kasada bromo dilakukan oleh masyarakat Tengger yang bermukim di Gunung Bromo Jawa Timur, mereka melakukan ritual ini untuk mengangkat seorang Tabib atau dukun disetiap desa. Agar mereka dapat diangkat oleh para tetua adat, mereka harus bisa mengamalkan dan menghafal mantera mantera.
Beberapa hari sebelum Upacara Kasada bromo dimulai, mereka mengerjakan sesaji sesaji yang nantinya akan dilemparkan ke Kawah Gunung Bromo. Pada malam ke 14 bulan Kasada Masyarakat tengger berbondong bondong dengan membawa ongkek yang berisi sesaji dari berbagai macam hasil pertanian dan ternak. Lalu mereka membawanya ke Pura dan sambil menunggu Dukun sepuh yang dihormati datang mereka kembali menghafal dan melafalkan mantera, tepat tengah malam diadakan pelantikan dukun dan pemberkatan umat dipoten lautan pasir gunung bromo.
Bagi masyarakat Tengger, peranan Dukun adalah sangat penting. Karena mereka bertugas memimpin acara – acara ritual, perkawinan dll.
Sebelum lulus mereka diwajibkan lulus ujian dengan cara menghafal dan lancar dalam membaca mantra mantra. Setelah Upacara selesai, ongkek – ongkek yang berisi sesaji dibawa dari kaki gunung bromo ke atas kawah. Dan mereka melemparkan kedalam kawah, sebagai simbol pengorbanan yang dilakukan oleh nenek moyang mereka. Didalam kawah banyak terdapat pengemis dan penduduk tengger yang tinggal dipedalaman, mereka jauh jauh hari datang ke gunung bromo dan mendirikan tempat tinggal dikawah gunung Bromo dengan harapan mereka mendapatkan sesaji yang dilempar.
Penduduk yang melempar sesaji berbagai macam buah buahan dan hasil ternak, mereka menganggapnya sebagai kaul atau terima kasih mereka terhadap tuhan atas hasil ternak dan pertanian yang melimpah. Aktivitas penduduk tengger pedalaman yang berada dikawah gunung bromo.

Reff:http://wilayahindonesia.blogdetik.com/2009/09/09/5-kebudayaan-unik-indonesia/

PENGARUH GLOBALISASI TERHADAP KEBUDAYAAN INDONESIA
· Globalisasi adalah suatu proses tatanan masyarakat yang mendunia dan tidak mengenal batas wilayah.
· Globalisasi pada hakikatnya adalah suatu proses dari gagasan yang dimunculkan, kemudian ditawarkan untuk diikuti oleh bangsa lain yang akhirnya sampai pada suatu titik kesepakatan bersama dan menjadi pedoman bersama bagi bangsa- bangsa di seluruh dunia. (Menurut Edison A. Jamli dkk.Kewarganegaraan.2005)
Menurut pendapat Krsna (Pengaruh Globalisasi Terhadap Pluralisme Kebudayaan Manusia di Negara Berkembang.internet.public jurnal.september 2005). Sebagai proses, globalisasi berlangsung melalui dua dimensi dalam interaksi antar bangsa, yaitu dimensi ruang dan waktu. Ruang makin dipersempit dan waktu makin dipersingkat dalam interaksi dan komunikasi pada skala dunia. Globalisasi berlangsung di semua bidang kehidupan seperti bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan keamanan dan lain- lain. Teknologi informasi dan komunikasi adalah faktor pendukung utama dalam globalisasi. Dewasa ini, perkembangan teknologi begitu cepat sehingga segala informasi dengan berbagai bentuk dan kepentingan dapat tersebar luas ke seluruh dunia.Oleh karena itu globalisasi tidak dapat kita hindari kehadirannya.
Kehadiran globalisasi tentunya membawa pengaruh bagi kehidupan suatu negara termasuk Indonesia. Pengaruh tersebut meliputi dua sisi yaitu pengaruh positif dan pengaruh negatif. Pengaruh globalisasi di berbagai bidang kehidupan seperti kehidupan politik, ekonomi, ideologi, sosial budaya dan lain- lain akan mempengaruhi nilai- nilai nasionalisme terhadap bangsa.
v Pengaruh positif globalisasi terhadap nilai- nilai nasionalisme
1. Dilihat dari globalisasi politik, pemerintahan dijalankan secara terbuka dan demokratis. Karena pemerintahan adalah bagian dari suatu negara, jika pemerintahan djalankan secara jujur, bersih dan dinamis tentunya akan mendapat tanggapan positif dari rakyat. Tanggapan positif tersebut berupa rasa nasionalisme terhadap negara menjadi meningkat
2. Dari aspek globalisasi ekonomi, terbukanya pasar internasional, meningkatkan kesempatan kerja dan meningkatkan devisa negara. Dengan adanya hal tersebut akan meningkatkan kehidupan ekonomi bangsa yang menunjang kehidupan nasional bangsa.
3. Dari globalisasi sosial budaya kita dapat meniru pola berpikir yang baik seperti etos kerja yang tinggi dan disiplin dan Iptek dari bangsa lain yang sudah maju untuk meningkatkan kemajuan bangsa yang pada akhirnya memajukan bangsa dan akan mempertebal rasa nasionalisme kita terhadap bangsa.
v Pengaruh negatif globalisasi terhadap nilai- nilai nasionalisme
1. Globalisasi mampu meyakinkan masyarakat Indonesia bahwa liberalisme dapat membawa kemajuan dan kemakmuran. Sehingga tidak menutup kemungkinan berubah arah dari ideologi Pancasila ke ideologi liberalisme. Jika hal tesebut terjadi akibatnya rasa nasionalisme bangsa akan hilang
2. Dari globalisasi aspek ekonomi, hilangnya rasa cinta terhadap produk dalam negeri karena banyaknya produk luar negeri (seperti Mc Donald, Coca Cola, Pizza Hut,dll.) membanjiri di Indonesia. Dengan hilangnya rasa cinta terhadap produk dalam negeri menunjukan gejala berkurangnya rasa nasionalisme masyarakat kita terhadap bangsa Indonesia.
3. Mayarakat kita khususnya anak muda banyak yang lupa akan identitas diri sebagai bangsa Indonesia, karena gaya hidupnya cenderung meniru budaya barat yang oleh masyarakat dunia dianggap sebagai kiblat.
4. Mengakibatkan adanya kesenjangan sosial yang tajam antara yang kaya dan miskin, karena adanya persaingan bebas dalam globalisasi ekonomi. Hal tersebut dapat menimbulkan pertentangan antara yang kaya dan miskin yang dapat mengganggu kehidupan nasional bangsa.
5. Munculnya sikap individualisme yang menimbulkan ketidakpedulian antarperilaku sesama warga. Dengan adanya individualisme maka orang tidak akan peduli dengan kehidupan bangsa.
Pengaruh- pengaruh di atas memang tidak secara langsung berpengaruh terhadap nasionalisme. Akan tetapi secara keseluruhan dapat menimbulkan rasa nasionalisme terhadap bangsa menjadi berkurang atau hilang. Sebab globalisasi mampu membuka cakrawala masyarakat secara global. Apa yang di luar negeri dianggap baik memberi aspirasi kepada masyarakat kita untuk diterapkan di negara kita. Jika terjadi maka akan menimbulkan dilematis. Bila dipenuhi belum tentu sesuai di Indonesia. Bila tidak dipenuhi akan dianggap tidak aspiratif dan dapat bertindak anarkis sehingga mengganggu stabilitas nasional, ketahanan nasional bahkan persatuan dan kesatuan bangsa.
v Pengaruh Globalisasi Terhadap Nilai Nasionalisme di Kalangan Generasi Muda
Arus globalisasi begitu cepat merasuk ke dalam masyarakat terutama di kalangan muda. Pengaruh globalisasi terhadap anak muda juga begitu kuat. Pengaruh globalisasi tersebut telah membuat banyak anak muda kita kehilangan kepribadian diri sebagai bangsa Indonesia. Hal ini ditunjukkan dengan gejala- gejala yang muncul dalam kehidupan sehari- hari anak muda sekarang.
Dari cara berpakaian banyak remaja- remaja kita yang berdandan seperti selebritis yang cenderung ke budaya Barat. Mereka menggunakan pakaian yang minim bahan yang memperlihatkan bagian tubuh yang seharusnya tidak kelihatan. Pada hal cara berpakaian tersebut jelas- jelas tidak sesuai dengan kebudayaan kita. Tak ketinggalan gaya rambut mereka dicat beraneka warna. Pendek kata orang lebih suka jika menjadi orang lain dengan cara menutupi identitasnya. Tidak banyak remaja yang mau melestarikan budaya bangsa dengan mengenakan pakaian yang sopan sesuai dengan kepribadian bangsa.
Teknologi internet merupakan teknologi yang memberikan informasi tanpa batas dan dapat diakses oleh siapa saja. Apa lagi bagi anak muda internet sudah menjadi santapan mereka sehari- hari. Jika digunakan secara semestinya tentu kita memperoleh manfaat yang berguna. Tetapi jika tidak, kita akan mendapat kerugian. Dan sekarang ini, banyak pelajar dan mahasiswa yang menggunakan tidak semestinya. Misal untuk membuka situs-situs porno. Bukan hanya internet saja, ada lagi pegangan wajib mereka yaitu handphone. Rasa sosial terhadap masyarakat menjadi tidak ada karena mereka lebih memilih sibuk dengan menggunakan handphone.
Dilihat dari sikap, banyak anak muda yang tingkah lakunya tidak kenal sopan santun dan cenderung cuek tidak ada rasa peduli terhadap lingkungan. Karena globalisasi menganut kebebasan dan keterbukaan sehingga mereka bertindak sesuka hati mereka. Contoh riilnya adanya geng motor anak muda yang melakukan tindakan kekerasan yang menganggu ketentraman dan kenyamanan masyarakat.
Jika pengaruh-pengaruh di atas dibiarkan, mau apa jadinya genersi muda tersebut? Moral generasi bangsa menjadi rusak, timbul tindakan anarkis antara golongan muda. Hubungannya dengan nilai nasionalisme akan berkurang karena tidak ada rasa cinta terhadap budaya bangsa sendiri dan rasa peduli terhadap masyarakat. Padahal generasi muda adalah penerus masa depan bangsa. Apa akibatnya jika penerus bangsa tidak memiliki rasa nasionalisme?
Berdasarkan analisa dan uraian di atas pengaruh negatif globalisasi lebih banyak daripada pengaruh positifnya. Oleh karena itu diperlukan langkah untuk mengantisipasi pengaruh negatif globalisasi terhadap nilai nasionalisme.
v Antisipasi Pengaruh Negatif Globalisasi Terhadap Nilai Nasionalisme
Langkah- langkah untuk mengantisipasi dampak negatif globalisasi terhadap nilai- nilai nasionalisme antara lain yaitu :
1. Menumbuhkan semangat nasionalisme yang tangguh, misal semangat mencintai produk dalam negeri.
2. Menanamkan dan mengamalkan nilai- nilai Pancasila dengan sebaik- baiknya.
3. Menanamkan dan melaksanakan ajaran agama dengan sebaik- baiknya.
4. Mewujudkan supremasi hukum, menerapkan dan menegakkan hukum dalam arti sebenar- benarnya dan seadil- adilnya.
5. Selektif terhadap pengaruh globalisasi di bidang politik, ideologi, ekonomi, sosial budaya bangsa.
Dengan adanya langkah- langkah antisipasi tersebut diharapkan mampu menangkis pengaruh globalisasi yang dapat mengubah nilai nasionalisme terhadap bangsa. Sehingga kita tidak akan kehilangan kepribadian bangsa.

Reff:http://azhar42.multiply.com/journal/item/26

Penduduk Indonesia terdiri dari berbagai suku, ras, dan agama yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Sebagai bangsa yang besar, Indonesia memiliki keanekaragaman budaya yang menjadi identitas dari bangsa Indonesia, sehingga diperlukan pemahaman atas Wawasan Nusantara sebagai nilai dasar Ketahanan Nasional serta sebagai pemersatu keragaman budaya bangsa.

Budaya secara harfiah berasal dari Bahasa Latin yaitu Colere yang memiliki arti mengerjakan tanah, mengolah, memelihara ladang (menurut Soerjanto Poespowardojo 1993). Selain itu Budaya atau kebudayaan berasal daribahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Adapun menurut istilah Kebudayaan merupakan suatu yang agung dan mahal, tentu saja karena ia tercipta dari hasil rasa, karya, karsa,dan cipta manusia yang kesemuanya merupakan sifat yang hanya ada pada manusia.Tak ada mahluk lain yang memiliki anugrah itu sehingga ia merupakan sesuatu yang agung dan mahal. Berikut ini definisi-definisi kebudayaan yang dikemukakan beberapa ahli:
1. Edward B. Taylor
Kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang didalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adapt istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat oleh seseorang sebagai anggota masyarakat.

2. M. Jacobs dan B.J. Stern
Kebudayaan mencakup keseluruhan yang meliputi bentuk teknologi sosial, ideologi, religi, dan kesenian serta benda, yang kesemuanya merupakan warisan sosial.

3. Koentjaraningrat
Kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar.

4. Ki Hajar Dewantara
Kebudayaan berarti buah budi manusia adalah hasil perjuangan manusia terhadap dua pengaruh kuat, yakni zaman dan alam yang merupakan bukti kejayaan hidup manusia untuk mengatasi berbagai rintangan dan kesukaran didalam hidup dan penghidupannya guna mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang pada lahirnya bersifat tertib dan damai.

Mengapa kebudayaan dapat menjadi alat pemersatu bangsa?
Seperti yang diutarakan oleh Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik,budaya bisa menjadi alat pemersatu bangsa, karena melalui kebudayaan antarwarga masyarakat akan semakin akrab. “Untuk itu, setiap daerah perlu memperbanyak karnaval budaya, karena kegiatan tersebut dapat memperkokoh persatuan bangsa,” katanya pada pelepasan karnaval.

Ketika kita menyaksikan budaya-budaya bangsa Indonesia diklaim sebagai budaya yang berasal dari bangsa lain, contohnya reog ponorogo, dan lagu rasa sayange yang dikalim oleh Malaysia. Rakyat Indonesia dengan keras memprotes hal tersebut, entah karna memiliki sikap dan jiwa nasionalisme atau sekedar ikut-ikutan karena suasana, akan tetapi segenap bangsa Indonesia bersama-sama bersatu untuk mengutuk bangsa tersebut sebagai pencuri budaya Nusantara. 

Apakah warga Indonesia mempunyai jiwa nasionalisme hanya pada saat budaya nya diklaim? Akan tetapi dari segi positif nya, dengan ada nya masalah kebudayaan tersebut warga Indonesia dapat bersatu. Maka hal ini dapat dikatakan sebagai alat pemersatu bangsa.

Seni dalam jenis dan sifatnya adalah tidak dapat dipisahkan dari lingkungan hidup. Seni berkaitan dengan konsepsi ruang, waktu dan keadaan. Maka seni selalu memunculkan nilai - nilai atau konsepsi - konsepsi yang ada dalam lingkungan dimana ia berada. Diseluruh Indonesia terdapat ratusan nilai atau konsepsi semacam ini. Di Jawa ada beberapa jenis nilai seperti tersebut diatas yang sering diangkat sebagai tema karya seni
Perlombaan juga dapat menjadi alat pemersatu, karena jiwa nasionalisme akan keluar saat perlombaan berlangsung. Contohnya, saat perlombaan internasional tari pada tanggal 4 desember 2009 di Weihnachtsfeier, Holland. Dalam event ini mereka seakan berlomba untuk menjadi yang terbaik dalam menampilkan kreasi seni dan budayanya masing-masing. Selain pertunjukan seni budaya, acara ini dimeriahkan juga dengan sajian makanan-makanan khas dari berbagai negara.


Globalisasi juga menjadi kenyataan yang tak terelakan. Dalam konteks percaturan budaya global, kesadaran untuk mempertanyakan isentitas justru semakin besar. Globalisasi telah menjadi kenyataan yang tak terelakan. Dalam konteks percaturan budaya global, kesadaran untuk mempertanyakan isentitas justru semakin besar.

Kemampuan dan kesadaran semacam itu hanya dimiliki oleh mereka yang memiliki kapasitas knowledgeable artist, seorang seniman yang memiliki kemampuan dan pengetahuan luas. Seorang seniman yang terus memelihara daya kreasi dan semangat inovasi, serta membuka diri terhadap berbagai kemungkinan. Siapapun yang ingin memberikan kontribusi yang berarti bagi kesenian, bagi kehidupan, dan bagi kemanusiaan secara luas, tak ada pilihan lain kecuali menumbuhkan kesadaran bahwa pergaulan global adalah sebuah keniscayaan.

Kemudian setelah itu harus memiliki komitmen dan integritas yang dapat dipertanggungjawabkan. Akulturasi budaya yang seharusnya dijaga oleh pemerintah dan masyarakat bangsa ini dalam usaha untuk melestarikan budayanya agar selain tujuannya sebagai instrumen persatuan dan kesatuan bangsa, tentunya juga dapat menjadikan ini sebagai sarana untuk mempromosikan budaya kita di dunia internasional sehingga isu-isu klaim mengklaim yang mengaku pemilik budaya antar bangsa dapat segera diatasi dengan baik (misalnya terkait penguatan intrumen yuridis mengenai hak paten budaya kita).
 
sumber:http://gondichelsky.blogspot.com/2011/02/kebudayaan-sebagai-alat-pemersatu.html

KAIN LURIK, KEKAYAAN BUDAYA INDONESIA Oleh: Nur Iswantara
Kain lurik merupakan salah satu kekayaan budaya kain tenun yang dimiliki Negara Indonesia. Kain lurik tradisional ini berkembang di Pulau Jawa khususnya Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Menurut sejarahnya kain lurik telah ada di Pulau Jawa sejak zaman Kerajaan Mataram, hal ini dibuktikan dengan ditemukannya beberapa prasasti yang menggambarkan hal tersebut.
Dari motif lorek jadilah kain lurik.
Mengapa kain tenun dengan motif garis tersebut dinamakan kain lurik? Awal mulanya dalam bahasa Jawa kuno lorek memiliki arti lajur atau garis, belang dan dapat juga diartikan sebagai corak. Maka tak heran lagi jika di Pulau Jawa kain tenun bermotif tersebut dikenal dengan nama kain lurik. Kain lurik sendiri memiliki tiga sebutan nama sesuai dengan motif yang berbeda, seperti sebutan lajuran untuk motif garis-garis yang searah dengan panjang sehelai kain. Ada lagi sebutan pakan malang untuk motif garis- garis yang searah lebar kain, serta ada pula sebutan cacahan untuk motif kecil-kecil.
Pada jaman dahulu, kain lurik ditenun menggunakan benang katun yang dipintal dengan tangan dan ditenun menjadi selembar kain dengan alat yang disebut Gedog, alat ini menghasilkan kain dengan lebar 60cm saja. Seiring dengan perkembangan jaman, kain lurik mulai diproduksi menggunakan ATBM (Alat Tenun Bukan Mesin) yang lebih modern dan dapat menghasilkan kain dengan lebar 150cm. Proses pemintalan kain katun sudah dilakukan secara modern, yaitu menggunakan mesin. Salah satu inti yang membuat sebuah kain disebut sebagai kain lurik adalah penggunaan benang katun, sehingga menghasilkan tekstur yang khas pada kain ini. Sehingga sebuah kain bermotif lurik yang dipintal dari benang polyester, tidak dapat disebut sebagai kain lurik, karena teksturnya yang berbeda dengan kain lurik yang terbuat dari katun.
Sejarah kain Lurik
Berbagai penemuan sejarah menunjukan bahwa kain tenun lurik telah ada di Pulau Jawa sejak dahulu kala. Ini terbukti pada Prasasti peninggalan kerajaan Mataram (851-882 M) yang menunjukkan adanya kain lurik pakan malang. Prasasti Raja Erlangga Jawa Timur tahun 1033 M menyebutkan bahwa kain tuluh watu adalah salah satu nama kain lurik. Dan juga pemakaian selendang pada arca terracotta asal Trowulan di Jawa Timur dari abad 15 M menunjukkan penggunaan kain lurik pada masa itu. Adanya tenun di pulau Jawa diperkuat dengan pemakaian tenun pada arca-arca dan relief candi yang tersebar di pulau Jawa.
Lurik sebagaimana kita ketahui adalah kain tenun tradisional Jawa khususnya Jogja dan Solo. Lurik merupakan peninggalan sejarah yang sangat kuno. Kain tradisional ini, dibuat dengan melewati beberapa tahapan yang rumit dan mebutuhkan ketelitian dan kesabaran dalam membuatnya.
Proses pembuatan kain lurik
Pertama, pencelupan warna.
Buat kain lurik tidak seperti membuat kain batik yang menggunakan cara “menggambar” pada selembar kain yang sudah jadi. Kain lurik dibuat dengan menenun benang menjadi selembar kain. dengan motif yang dirancang sejak dari pencelupan warna benang sesuai dengan yang diinginkan.
Kedua, Kelos dan palet ( memintal ).
Untuk memudahkan dalam menata benang, setelah dicelup, benang dijemur hingga kering. setelahnya, benang dipintal dalam gulungan-gulungan kecil yang disebut kelos atau palet.
Ketiga, Sekir (menata benang menjadi motif)
Proses ini adalah proses paling rumit, karena seorang penyekir harus menata benang-benang tipis sejumlah 2100 helai benang untuk menghasilkan satu motif tertentu kain lurik selebar 70 cm. tiap-tiap motif memiliki rumus yang berbeda. padahal motif kain lurik sendiri berjumlah puluhan. baik motif klasik maupun motif kontemporer.
Keempat, Nyucuk (memindahkan desain motif ke alat tenun)
Setelah motif dasar ditata di alat sekir, makan kemudian dipindahkan ke alat tenunan. kembali ke-2100 helai benang tadi ditata, dimasukkan satu persatu ke alat serupa sisir di alat tenun. Pada bagian ini, harus dilakukan oleh dua orang, yang satu memilah benang satu persatu dan menyerahkannya kepada partnernya, sedangkan partner satunya menerima dan memasangkan pada alat tenunnya.
Kelima, menenun
Setelah empat proses yang mendahuluinya, akhirnya benang-benang itu siap untuk ditenun. dan tentunya dengan menggunakan alat tenun manual atau yang dikenal dengan ATBM, Alat Tenun Bukan Mesin. Dan akhirnya, kain-kain lurik indah penuh maknapun siap digunakan.
Produsen, makna kain lurik
Daerah produsen kain lurik yang terkenal yaitu di kota Yogyakarta, Klaten, Solo, Jepara, dan Tuban. Untuk daerah Yogyakarta dan Solo, kain lurik dibuat dengan teknik amanan wareg yaitu anyaman datar atau polos. Walaupun sederhana, namun membutuhkan ketrampilan dan kejelian dalam memadukan warna dan menyusun garis atau kotak yang serasi dan seimbang. Pembuatan kain lurik kini telah mengalami kemajuan, dari mulai menggunakan atat tenun tradisional yang biasa disebut tenun gedog, kemudian ATBM ( alat tenun bukan mesin ), hingga kini telah maju menggunakan ATM ( alat tenun mesin ).
Pada awalnya, kain lurik hanya dibuat dalam dua warna saja, yaitu hitam dan putih dengan corak garis atau kotak, namun kini banyak terdapat kain lurik dengan beragam warna, seperti biru, merah, kuning, coklat dan hijau. Yang membedakan tiap motif adalah susunan warnanya, misalnya 3 warna merah, 4 warna biru dengan bahan dasar hitam. Masing-masing komposisi warna dan garis pada kain lurik memiliki makna tertentu. Seperti kain lurik gedog madu, yang digunakan pada upacara mitoni atau siraman; kemudian ada lagi kain lurik motif lasem yang digunakan untuk perlengkapan pengantin pada jaman dahulu.
perkembangan kain lurik
Kain lurik yang dulunya dari kalangan masyarakat biasa, kini telah mampu diakui dan dihargai oleh banyak pihak. Misalkan Keraton Kasultanan Yogyakarta menjadikan kain lurik sebagai busana prajurit keraton. Kelompok usaha bersama abdi dalem Keraton di Kota Gede pun menggalakkan usaha kecil pembuatan pakaian tradisional dari kain lurik. Mereka memanfaatkan motif kain lurik tradisional yang didominasi warna hitam, cokelat, dan putih. Menurut salah satu anggotanya, Budi Raharjo, setiap orang bisa menyelesaikan dua pakaian lurik per hari yang dijual Rp 120.000 per potong.
Saat ini kain lurik tidak hanya dijadikan sebagai busana prajurit keraton saja, tetapi telah banyak dijadikan sebagai bahan surjan, kemeja baik pria maupun wanita, kebaya wanita, pakaian anak-anak, serta selendang ataupun syal. Di Yogyakarta, kain lurik dimodifikasi menjadi beragam produk, seperti pakaian dan aksesori: gantungan kunci, dompet, tas, pakaian, hingga bed cover, semakin digemari masyarakat. Kekhasan corak kain lurik tradisional dan proses pembuatannya yang masih menggunakan tangan menyebabkan nilai jual produk turunan kain lurik tinggi. Tak hanya pasar dalam negeri, kain lurik pun mulai merambah pangsa luar negeri.
Penggunaan kain lurik tidak terbatas untuk pemakaian sehari-hari seperti pakaian dan kain gendong namun juga digunakan untuk perlengkapan interior. Yang menyenangkan dari kain lurik adalah, meskipun ketika masih baru teksturnya sangat kasar dan kaku, namun ketika telah digunakan beberapa lama, teksturnya berubah menjadi lebih lembut tapi tidak berkurang kekuatannya.
Seiring perkembangan dunia fashion di Indonesia, potensi keindahan kain lurik dapat ditampilkan dengan gaya modern tanpa menghilangkan kesan klasik, etnik dan tradisi yang terkandung dalam kain tersebut. Dengan memadukan kain lurik dengan bahan modern, kini banyak perancang busana yang telah sukses menghantarkan kain lurik menjadi busana yang nyaman digunakan oleh para selebritis, pejabat negara. Kini kain tradisional pun tidak memiliki kesulitan untuk meraih pasaran dunia. Banyak orang menekuni bisnis fashion dengan bahan kain lurik mencapai sukses.
Sebelum ada upaya modifikasi, kain lurik sering kali dicap kuno, tidak trendi, dan berwarna gelap. Kini, beragam gerai kerajinan, pengusaha mulai memberikan sentuhan inovasi yang berarti. Selayaknya kain lurik sebagai kekayaan budaya Indonesia tetap dicinta bangsa ini. Bahkan menjadi ‘sandang’ tuan di negeri sendiri dan menjadi inspirasi berkreasi bagi seniman dan usahawan karena memiliki nilai keindahan dan ekonomis. Pembuatan kain lurik yang mempertahankan ketradisionalannya seperti penggunaan alat tenun bukan mesin dan pewarnaan yang lebih cerah dengan motif beragam menjadikan lurik memiliki nilai budaya yang mempesona.
Refferensi:http://www.gerbanginterview.com/web/2011/03/kain-lurik-kekayaan-budaya-indonesia/

KAIN LURIK, KEKAYAAN BUDAYA INDONESIA Oleh: Nur Iswantara
Kain lurik merupakan salah satu kekayaan budaya kain tenun yang dimiliki Negara Indonesia. Kain lurik tradisional ini berkembang di Pulau Jawa khususnya Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Menurut sejarahnya kain lurik telah ada di Pulau Jawa sejak zaman Kerajaan Mataram, hal ini dibuktikan dengan ditemukannya beberapa prasasti yang menggambarkan hal tersebut.
Dari motif lorek jadilah kain lurik.
Mengapa kain tenun dengan motif garis tersebut dinamakan kain lurik? Awal mulanya dalam bahasa Jawa kuno lorek memiliki arti lajur atau garis, belang dan dapat juga diartikan sebagai corak. Maka tak heran lagi jika di Pulau Jawa kain tenun bermotif tersebut dikenal dengan nama kain lurik. Kain lurik sendiri memiliki tiga sebutan nama sesuai dengan motif yang berbeda, seperti sebutan lajuran untuk motif garis-garis yang searah dengan panjang sehelai kain. Ada lagi sebutan pakan malang untuk motif garis- garis yang searah lebar kain, serta ada pula sebutan cacahan untuk motif kecil-kecil.
Pada jaman dahulu, kain lurik ditenun menggunakan benang katun yang dipintal dengan tangan dan ditenun menjadi selembar kain dengan alat yang disebut Gedog, alat ini menghasilkan kain dengan lebar 60cm saja. Seiring dengan perkembangan jaman, kain lurik mulai diproduksi menggunakan ATBM (Alat Tenun Bukan Mesin) yang lebih modern dan dapat menghasilkan kain dengan lebar 150cm. Proses pemintalan kain katun sudah dilakukan secara modern, yaitu menggunakan mesin. Salah satu inti yang membuat sebuah kain disebut sebagai kain lurik adalah penggunaan benang katun, sehingga menghasilkan tekstur yang khas pada kain ini. Sehingga sebuah kain bermotif lurik yang dipintal dari benang polyester, tidak dapat disebut sebagai kain lurik, karena teksturnya yang berbeda dengan kain lurik yang terbuat dari katun.
Sejarah kain Lurik
Berbagai penemuan sejarah menunjukan bahwa kain tenun lurik telah ada di Pulau Jawa sejak dahulu kala. Ini terbukti pada Prasasti peninggalan kerajaan Mataram (851-882 M) yang menunjukkan adanya kain lurik pakan malang. Prasasti Raja Erlangga Jawa Timur tahun 1033 M menyebutkan bahwa kain tuluh watu adalah salah satu nama kain lurik. Dan juga pemakaian selendang pada arca terracotta asal Trowulan di Jawa Timur dari abad 15 M menunjukkan penggunaan kain lurik pada masa itu. Adanya tenun di pulau Jawa diperkuat dengan pemakaian tenun pada arca-arca dan relief candi yang tersebar di pulau Jawa.
Lurik sebagaimana kita ketahui adalah kain tenun tradisional Jawa khususnya Jogja dan Solo. Lurik merupakan peninggalan sejarah yang sangat kuno. Kain tradisional ini, dibuat dengan melewati beberapa tahapan yang rumit dan mebutuhkan ketelitian dan kesabaran dalam membuatnya.
Proses pembuatan kain lurik
Pertama, pencelupan warna.
Buat kain lurik tidak seperti membuat kain batik yang menggunakan cara “menggambar” pada selembar kain yang sudah jadi. Kain lurik dibuat dengan menenun benang menjadi selembar kain. dengan motif yang dirancang sejak dari pencelupan warna benang sesuai dengan yang diinginkan.
Kedua, Kelos dan palet ( memintal ).
Untuk memudahkan dalam menata benang, setelah dicelup, benang dijemur hingga kering. setelahnya, benang dipintal dalam gulungan-gulungan kecil yang disebut kelos atau palet.
Ketiga, Sekir (menata benang menjadi motif)
Proses ini adalah proses paling rumit, karena seorang penyekir harus menata benang-benang tipis sejumlah 2100 helai benang untuk menghasilkan satu motif tertentu kain lurik selebar 70 cm. tiap-tiap motif memiliki rumus yang berbeda. padahal motif kain lurik sendiri berjumlah puluhan. baik motif klasik maupun motif kontemporer.
Keempat, Nyucuk (memindahkan desain motif ke alat tenun)
Setelah motif dasar ditata di alat sekir, makan kemudian dipindahkan ke alat tenunan. kembali ke-2100 helai benang tadi ditata, dimasukkan satu persatu ke alat serupa sisir di alat tenun. Pada bagian ini, harus dilakukan oleh dua orang, yang satu memilah benang satu persatu dan menyerahkannya kepada partnernya, sedangkan partner satunya menerima dan memasangkan pada alat tenunnya.
Kelima, menenun
Setelah empat proses yang mendahuluinya, akhirnya benang-benang itu siap untuk ditenun. dan tentunya dengan menggunakan alat tenun manual atau yang dikenal dengan ATBM, Alat Tenun Bukan Mesin. Dan akhirnya, kain-kain lurik indah penuh maknapun siap digunakan.
Produsen, makna kain lurik
Daerah produsen kain lurik yang terkenal yaitu di kota Yogyakarta, Klaten, Solo, Jepara, dan Tuban. Untuk daerah Yogyakarta dan Solo, kain lurik dibuat dengan teknik amanan wareg yaitu anyaman datar atau polos. Walaupun sederhana, namun membutuhkan ketrampilan dan kejelian dalam memadukan warna dan menyusun garis atau kotak yang serasi dan seimbang. Pembuatan kain lurik kini telah mengalami kemajuan, dari mulai menggunakan atat tenun tradisional yang biasa disebut tenun gedog, kemudian ATBM ( alat tenun bukan mesin ), hingga kini telah maju menggunakan ATM ( alat tenun mesin ).
Pada awalnya, kain lurik hanya dibuat dalam dua warna saja, yaitu hitam dan putih dengan corak garis atau kotak, namun kini banyak terdapat kain lurik dengan beragam warna, seperti biru, merah, kuning, coklat dan hijau. Yang membedakan tiap motif adalah susunan warnanya, misalnya 3 warna merah, 4 warna biru dengan bahan dasar hitam. Masing-masing komposisi warna dan garis pada kain lurik memiliki makna tertentu. Seperti kain lurik gedog madu, yang digunakan pada upacara mitoni atau siraman; kemudian ada lagi kain lurik motif lasem yang digunakan untuk perlengkapan pengantin pada jaman dahulu.
perkembangan kain lurik
Kain lurik yang dulunya dari kalangan masyarakat biasa, kini telah mampu diakui dan dihargai oleh banyak pihak. Misalkan Keraton Kasultanan Yogyakarta menjadikan kain lurik sebagai busana prajurit keraton. Kelompok usaha bersama abdi dalem Keraton di Kota Gede pun menggalakkan usaha kecil pembuatan pakaian tradisional dari kain lurik. Mereka memanfaatkan motif kain lurik tradisional yang didominasi warna hitam, cokelat, dan putih. Menurut salah satu anggotanya, Budi Raharjo, setiap orang bisa menyelesaikan dua pakaian lurik per hari yang dijual Rp 120.000 per potong.
Saat ini kain lurik tidak hanya dijadikan sebagai busana prajurit keraton saja, tetapi telah banyak dijadikan sebagai bahan surjan, kemeja baik pria maupun wanita, kebaya wanita, pakaian anak-anak, serta selendang ataupun syal. Di Yogyakarta, kain lurik dimodifikasi menjadi beragam produk, seperti pakaian dan aksesori: gantungan kunci, dompet, tas, pakaian, hingga bed cover, semakin digemari masyarakat. Kekhasan corak kain lurik tradisional dan proses pembuatannya yang masih menggunakan tangan menyebabkan nilai jual produk turunan kain lurik tinggi. Tak hanya pasar dalam negeri, kain lurik pun mulai merambah pangsa luar negeri.
Penggunaan kain lurik tidak terbatas untuk pemakaian sehari-hari seperti pakaian dan kain gendong namun juga digunakan untuk perlengkapan interior. Yang menyenangkan dari kain lurik adalah, meskipun ketika masih baru teksturnya sangat kasar dan kaku, namun ketika telah digunakan beberapa lama, teksturnya berubah menjadi lebih lembut tapi tidak berkurang kekuatannya.
Seiring perkembangan dunia fashion di Indonesia, potensi keindahan kain lurik dapat ditampilkan dengan gaya modern tanpa menghilangkan kesan klasik, etnik dan tradisi yang terkandung dalam kain tersebut. Dengan memadukan kain lurik dengan bahan modern, kini banyak perancang busana yang telah sukses menghantarkan kain lurik menjadi busana yang nyaman digunakan oleh para selebritis, pejabat negara. Kini kain tradisional pun tidak memiliki kesulitan untuk meraih pasaran dunia. Banyak orang menekuni bisnis fashion dengan bahan kain lurik mencapai sukses.
Sebelum ada upaya modifikasi, kain lurik sering kali dicap kuno, tidak trendi, dan berwarna gelap. Kini, beragam gerai kerajinan, pengusaha mulai memberikan sentuhan inovasi yang berarti. Selayaknya kain lurik sebagai kekayaan budaya Indonesia tetap dicinta bangsa ini. Bahkan menjadi ‘sandang’ tuan di negeri sendiri dan menjadi inspirasi berkreasi bagi seniman dan usahawan karena memiliki nilai keindahan dan ekonomis. Pembuatan kain lurik yang mempertahankan ketradisionalannya seperti penggunaan alat tenun bukan mesin dan pewarnaan yang lebih cerah dengan motif beragam menjadikan lurik memiliki nilai budaya yang mempesona.
Referrensi:http://www.gerbanginterview.com/web/2011/03/kain-lurik-kekayaan-budaya-indonesia/

Budaya sebagai Alat Pemersatu Bangsa

seni pemersatu bangsa


Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Kebudayaan selalu merujuk pada sederetan sistem pengetahuan yang dimiliki bersama, perangai-perangai, kebiasaan-kebiasaan, nilai-nilai, peraturan-peraturan, dan simbol-simbol yang berkaitan dengan tujuan seluruh anggota masyarakat yang berinteraksi dengan lingkungan sosial dan lingkungan fisik. Dipandang dari wujudnya, menurut Koentjaraningrat, kebudayaan memiliki ide, bentuk dan perilaku. Sedangkan dikaji dari segi unsur, kebudayaan memiliki 7 unsur pokok yaitu sistem kepercayaan, bahasa, sistem ekonomi, sistem sosial, ilmu pengetahuan, teknologi dan sni. Secara sederhana bahwa kebudayaan adalah nilai-nilai dan gagasan vital yang bermanfaat bagi kehidupan manusia.
Seni adalah ekspresi dari jiwa manusia yang diwujudkan dalam karya seni. Pernyataan ini mengisyaratkan terjadinya kreatifitas dalam hal olah imajinasi dan olah rupa, gerak, suara, cahaya, bau dan sebagainya. Penciptaan seni terjadi oleh adanya proses cipta, karsa dan rasa. Penciptaan di bidang seni mengandung pengertiaan yang terpandu antara kreatifitas, penemuan dan inovasi yang sangat dipengaruhi oleh rasa. Namun demikian, logika dan daya nalar mengimbangi rasa dari waktu ke waktu dalam kadar yang cukup tinggi. Rasa muncul karena dorongan kehendak naluri yang disebut karsa. Karsa dapat bersifat individu atau kolektif, tergantung dari lingkungan serta budaya masyarakat.
WAWASAN KEBANGSAAN
Setiap orang tentu memiliki rasa kebangsaan dan memiliki wawasan kebangsaan dalam perasaan atau pikiran, paling tidak di dalam hati nuraninya. Dalam realitas, rasa kebangsaan itu seperti sesuatu yang dapat dirasakan tetapi sulit dipahami. Namun ada getaran atau resonansi dan pikiran ketika rasa kebangsaan tersentuh. Rasa kebangsaan bisa timbul dan terpendam secara berbeda dari orang per orang dengan naluri kejuangannya masing-masing, tetapi bisa juga timbul dalam kelompok yang berpotensi dasyat luar biasa kekuatannya.
Rasa kebangsaan adalah kesadaran berbangsa, yakni rasa yang lahir secara alamiah karena adanya kebersamaan sosial yang tumbuh dari kebudayaan, sejarah, dan aspirasi perjuangan masa lampau, serta kebersamaan dalam menghadapi tantangan sejarah masa kini. Dinamisasi rasa kebangsaan ini dalam mencapai cita-cita bangsa berkembang menjadi wawasan kebangsaan, yakni pikiran-pikiran yang bersifat nasioanal dimana suatu bangsa memiliki cita-cita kehidupan dan tujuan nasional yang jelas. Berdasarkan rasa dan paham kebangsaan itu, timbul semangat kebangsaan atau semangat patriotisme.
Wawasan kebangsaan mengandung pula tuntutan suatu bangsa untuk mewujudkan jati diri, serta mengembangkan perilaku sebagai bangsa yang meyakini nilai-nilai budayanya, yang lahir dan tumbuh sebagai penjelmaan kepribadiaanya.
Seni dan budaya sebagai media pemersatu bangsa
Globalisasi telah menjadi kenyataan yang tak terelakan. Dalam konteks percaturan budaya global, kesadaran untuk mempertanyakan isentitas justru semakin besar. Inilah hal yang mengiringi wacana tentang identitas (budaya) dalam globalisasi ini.
Dalam arus besar ini, kesenian lokal yang sekaligus sebagai corong penanaman nilai-nilai atau konsepsi-konsepsi sebagai satu unsur dalam kebudayaan lokal akan semakin tersisihkan. Apalagi yang terjadi pada generasi muda, kebudayaan barat akan semakin menindih kebudayaan lokal kita dalam diri mereka.
Maka tidak heran jika sosok yang kita hadapi sehari-hari dilingkungan kita adlaha sosok yang tidak teridentifikasi sebagai anak bangsa ini (gaya bicara, kosa kata: semisal, “bajingan” dalam satu syair lagu populer, sopan santun, keramah tamahan, pola pikir, cara berpakaian dan lain sebagainya).
Hal yang harus dilakukan dalam menghadapi ini adalah menumbuhkan kesadaran, bahwa kekuatan lokal dapat sangat efektif untuk bekal memasuki global village (desa global) maupun global culture (budaya global). Kenyataan semacam itu hanya mungkin jika tumbuh kesadaran untuk terus menerus membangun dialog, baik dalam skala personal maupun komunal, antara yang lokal dan yang global, antara yang traadisi dengan yang modern, dengan tendensi untuk saling melengkapi, dan saling memperkaya.
Nah, seni dalam jenis dan sifatnya adalah tidak dapat dipisahkan dari lingkungan hidup. Seni berkaitan dengan konsepsi ruang, waktu dan keadaan. Maka seni selalu memunculkan nilai-nilai atau konsepsi-konsepsi yang ada dalam lingkungan di mana ia berada. Di seluruh Indonesia terdapat ratusan nilai atau konsepsi semacam ini. Di Jawa ada beberapa jenis nilai seperti tersebut diatas yang sering diangkat sebagai tema karya seni. Di antara nilai-nilai itu termasuk prinsip rukun, prinsip hormat, prinsip mamayu hayuning bawana, mamayu hayuning bangsa, adigang adiguna sikap yang sombong, aja dumeh (jangan sok), ngono yo ngono (begitu ya begitu tetapi jangan begitu) dan lain sebagainya.
Nilai-nilai atau konsepsi-konsepsi yang terhadirkan dalam setiap tampilan kesenian, akan memasuki relung-relung hati setiap manusia yang terlibat dalam peristiwa seni ini (baik itu pelaku maupun penontonnya). Melihat hal semacam inilah maka sudah sangat jelas bahwa kesenian merupakan satu media yang signifikan untuk meningkatkan wawasan kebangsaan.
Kemampuan dan kesadaran semacam itu hanya dimiliki oleh mereka yang memiliki kapasitas knowledgeable artist, seorang seniman yang memiliki kemampuan dan pengetahuan luas. Seorang seniman yang terus memelihara daya kreasi dan semangat inovasi, serta membuka diri terhadap berbagai kemungkinan. Siapapun yang ingin memberikan kontribusi yang berarti bagi kesenian, bagi kehidupan, dan bagi kemanusiaan secara luas, tak ada pilihan lain kecuali menumbuhkan kesadaran bahwa pergaulan global adalah sebuah keniscayaan. Kemudian setelah itu harus memiliki komitmen dan integritas yang dapat dipertanggung jawabkan

Refferensi:http://taritahasman.blogspot.com/2011/02/budaya-sebagai-alat-pemersatu-bangsa.html