Oleh: Nur Iswantara
Kain lurik merupakan salah satu kekayaan budaya kain tenun yang dimiliki Negara Indonesia. Kain lurik tradisional ini berkembang di Pulau Jawa khususnya Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Menurut sejarahnya kain lurik telah ada di Pulau Jawa sejak zaman Kerajaan Mataram, hal ini dibuktikan dengan ditemukannya beberapa prasasti yang menggambarkan hal tersebut.
Dari motif lorek jadilah kain lurik.
Mengapa kain tenun dengan motif garis tersebut dinamakan kain lurik? Awal mulanya dalam bahasa Jawa kuno lorek memiliki arti lajur atau garis, belang dan dapat juga diartikan sebagai corak. Maka tak heran lagi jika di Pulau Jawa kain tenun bermotif tersebut dikenal dengan nama kain lurik. Kain lurik sendiri memiliki tiga sebutan nama sesuai dengan motif yang berbeda, seperti sebutan lajuran untuk motif garis-garis yang searah dengan panjang sehelai kain. Ada lagi sebutan pakan malang untuk motif garis- garis yang searah lebar kain, serta ada pula sebutan cacahan untuk motif kecil-kecil.
Pada jaman dahulu, kain lurik ditenun menggunakan benang katun yang dipintal dengan tangan dan ditenun menjadi selembar kain dengan alat yang disebut Gedog, alat ini menghasilkan kain dengan lebar 60cm saja. Seiring dengan perkembangan jaman, kain lurik mulai diproduksi menggunakan ATBM (Alat Tenun Bukan Mesin) yang lebih modern dan dapat menghasilkan kain dengan lebar 150cm. Proses pemintalan kain katun sudah dilakukan secara modern, yaitu menggunakan mesin. Salah satu inti yang membuat sebuah kain disebut sebagai kain lurik adalah penggunaan benang katun, sehingga menghasilkan tekstur yang khas pada kain ini. Sehingga sebuah kain bermotif lurik yang dipintal dari benang polyester, tidak dapat disebut sebagai kain lurik, karena teksturnya yang berbeda dengan kain lurik yang terbuat dari katun.
Sejarah kain Lurik
Berbagai penemuan sejarah menunjukan bahwa kain tenun lurik telah ada di Pulau Jawa sejak dahulu kala. Ini terbukti pada Prasasti peninggalan kerajaan Mataram (851-882 M) yang menunjukkan adanya kain lurik pakan malang. Prasasti Raja Erlangga Jawa Timur tahun 1033 M menyebutkan bahwa kain tuluh watu adalah salah satu nama kain lurik. Dan juga pemakaian selendang pada arca terracotta asal Trowulan di Jawa Timur dari abad 15 M menunjukkan penggunaan kain lurik pada masa itu. Adanya tenun di pulau Jawa diperkuat dengan pemakaian tenun pada arca-arca dan relief candi yang tersebar di pulau Jawa.
Lurik sebagaimana kita ketahui adalah kain tenun tradisional Jawa khususnya Jogja dan Solo. Lurik merupakan peninggalan sejarah yang sangat kuno. Kain tradisional ini, dibuat dengan melewati beberapa tahapan yang rumit dan mebutuhkan ketelitian dan kesabaran dalam membuatnya.
Proses pembuatan kain lurik
Pertama, pencelupan warna.
Buat kain lurik tidak seperti membuat kain batik yang menggunakan cara “menggambar” pada selembar kain yang sudah jadi. Kain lurik dibuat dengan menenun benang menjadi selembar kain. dengan motif yang dirancang sejak dari pencelupan warna benang sesuai dengan yang diinginkan.
Kedua, Kelos dan palet ( memintal ).
Untuk memudahkan dalam menata benang, setelah dicelup, benang dijemur hingga kering. setelahnya, benang dipintal dalam gulungan-gulungan kecil yang disebut kelos atau palet.
Ketiga, Sekir (menata benang menjadi motif)
Proses ini adalah proses paling rumit, karena seorang penyekir harus menata benang-benang tipis sejumlah 2100 helai benang untuk menghasilkan satu motif tertentu kain lurik selebar 70 cm. tiap-tiap motif memiliki rumus yang berbeda. padahal motif kain lurik sendiri berjumlah puluhan. baik motif klasik maupun motif kontemporer.
Keempat, Nyucuk (memindahkan desain motif ke alat tenun)
Setelah motif dasar ditata di alat sekir, makan kemudian dipindahkan ke alat tenunan. kembali ke-2100 helai benang tadi ditata, dimasukkan satu persatu ke alat serupa sisir di alat tenun. Pada bagian ini, harus dilakukan oleh dua orang, yang satu memilah benang satu persatu dan menyerahkannya kepada partnernya, sedangkan partner satunya menerima dan memasangkan pada alat tenunnya.
Kelima, menenun
Setelah empat proses yang mendahuluinya, akhirnya benang-benang itu siap untuk ditenun. dan tentunya dengan menggunakan alat tenun manual atau yang dikenal dengan ATBM, Alat Tenun Bukan Mesin. Dan akhirnya, kain-kain lurik indah penuh maknapun siap digunakan.
Produsen, makna kain lurik
Daerah produsen kain lurik yang terkenal yaitu di kota Yogyakarta, Klaten, Solo, Jepara, dan Tuban. Untuk daerah Yogyakarta dan Solo, kain lurik dibuat dengan teknik amanan wareg yaitu anyaman datar atau polos. Walaupun sederhana, namun membutuhkan ketrampilan dan kejelian dalam memadukan warna dan menyusun garis atau kotak yang serasi dan seimbang. Pembuatan kain lurik kini telah mengalami kemajuan, dari mulai menggunakan atat tenun tradisional yang biasa disebut tenun gedog, kemudian ATBM ( alat tenun bukan mesin ), hingga kini telah maju menggunakan ATM ( alat tenun mesin ).
Pada awalnya, kain lurik hanya dibuat dalam dua warna saja, yaitu hitam dan putih dengan corak garis atau kotak, namun kini banyak terdapat kain lurik dengan beragam warna, seperti biru, merah, kuning, coklat dan hijau. Yang membedakan tiap motif adalah susunan warnanya, misalnya 3 warna merah, 4 warna biru dengan bahan dasar hitam. Masing-masing komposisi warna dan garis pada kain lurik memiliki makna tertentu. Seperti kain lurik gedog madu, yang digunakan pada upacara mitoni atau siraman; kemudian ada lagi kain lurik motif lasem yang digunakan untuk perlengkapan pengantin pada jaman dahulu.
perkembangan kain lurik
Kain lurik yang dulunya dari kalangan masyarakat biasa, kini telah mampu diakui dan dihargai oleh banyak pihak. Misalkan Keraton Kasultanan Yogyakarta menjadikan kain lurik sebagai busana prajurit keraton. Kelompok usaha bersama abdi dalem Keraton di Kota Gede pun menggalakkan usaha kecil pembuatan pakaian tradisional dari kain lurik. Mereka memanfaatkan motif kain lurik tradisional yang didominasi warna hitam, cokelat, dan putih. Menurut salah satu anggotanya, Budi Raharjo, setiap orang bisa menyelesaikan dua pakaian lurik per hari yang dijual Rp 120.000 per potong.
Saat ini kain lurik tidak hanya dijadikan sebagai busana prajurit keraton saja, tetapi telah banyak dijadikan sebagai bahan surjan, kemeja baik pria maupun wanita, kebaya wanita, pakaian anak-anak, serta selendang ataupun syal. Di Yogyakarta, kain lurik dimodifikasi menjadi beragam produk, seperti pakaian dan aksesori: gantungan kunci, dompet, tas, pakaian, hingga bed cover, semakin digemari masyarakat. Kekhasan corak kain lurik tradisional dan proses pembuatannya yang masih menggunakan tangan menyebabkan nilai jual produk turunan kain lurik tinggi. Tak hanya pasar dalam negeri, kain lurik pun mulai merambah pangsa luar negeri.
Penggunaan kain lurik tidak terbatas untuk pemakaian sehari-hari seperti pakaian dan kain gendong namun juga digunakan untuk perlengkapan interior. Yang menyenangkan dari kain lurik adalah, meskipun ketika masih baru teksturnya sangat kasar dan kaku, namun ketika telah digunakan beberapa lama, teksturnya berubah menjadi lebih lembut tapi tidak berkurang kekuatannya.
Seiring perkembangan dunia fashion di Indonesia, potensi keindahan kain lurik dapat ditampilkan dengan gaya modern tanpa menghilangkan kesan klasik, etnik dan tradisi yang terkandung dalam kain tersebut. Dengan memadukan kain lurik dengan bahan modern, kini banyak perancang busana yang telah sukses menghantarkan kain lurik menjadi busana yang nyaman digunakan oleh para selebritis, pejabat negara. Kini kain tradisional pun tidak memiliki kesulitan untuk meraih pasaran dunia. Banyak orang menekuni bisnis fashion dengan bahan kain lurik mencapai sukses.
Sebelum ada upaya modifikasi, kain lurik sering kali dicap kuno, tidak trendi, dan berwarna gelap. Kini, beragam gerai kerajinan, pengusaha mulai memberikan sentuhan inovasi yang berarti. Selayaknya kain lurik sebagai kekayaan budaya Indonesia tetap dicinta bangsa ini. Bahkan menjadi ‘sandang’ tuan di negeri sendiri dan menjadi inspirasi berkreasi bagi seniman dan usahawan karena memiliki nilai keindahan dan ekonomis. Pembuatan kain lurik yang mempertahankan ketradisionalannya seperti penggunaan alat tenun bukan mesin dan pewarnaan yang lebih cerah dengan motif beragam menjadikan lurik memiliki nilai budaya yang mempesona.
Refferensi:http://www.gerbanginterview.com/web/2011/03/kain-lurik-kekayaan-budaya-indonesia/